Langsung ke konten utama

Kacamata Kehidupan di Indonesia


Pandemi Covid-19 seakan mengubah mindset pribadi. Dulu, lama di dalam rumah lalu keluar memiliki nuansa sama. Namun, untuk saat ini beda. Ada berbagai pertanyaan yang terkumpul pada benakku. Pos-pos kampling yang dulunya reot sekarang berfungsi kembali.

Penjagaan di setiap lingkungan RT/RW begitu ketat. Di desaku yang mulanya tidak ada palang pintu di perbatasan, sekarang menjadi ada. Palang pintu sederhana dari pring petuk (bambu besar) yang di cat merah putih.

Ramadan yang hampir usai menyiratkan segala pesan. Bingung antara mau memberikan senyuman atau tangisan. Rasa syukur masih lebih mendominasi. Lingkungan yang tampak asri membuat diri semakin terwarnai. Masih bisa menyambut pagi dengan cuitan burung-burung yang terbang ke sana ke mari.

Di setiap pagi, kudapati kesejukan jasmani dan rohani. Namun, di sebuah perjalanan mengantar sembako, mataku terus tertuju kepada mereka yang tak mentaati. Ya, berlalu-lalang tanpa menggunakan masker. Pasti sulit bagi manusia untuk tidak berinteraksi lama dengan manusia lain. Karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial. Tetapi, sengsara di awal apakah tidak bisa? Daripada sengsara berkepanjangan.

Kebersihan sebenarnya sering diajarkan ke kita. Tetapi, mungkin hanya beberapa yang memahami. Kebiasaan sederhana yakni membersihkan kaki dan tangan setelah ziarah ke makam. Bapak selalu mengingatkan kepadaku. Sebelum masuk rumah harus membasuh kaki dan tangan. Kini bukan hanya setelah ziarah lagi melainkan setiap kita keluar dari rumah.

Baru teringat pula, kalau Ibu pernah cerita tentang masa kecilnya. Di masanya Ibu sering melihat tindakan nenek. Tindakan yang menyisihkan sedikit beras setiap membeli beras. Nah, tujuannya itu untuk menabung. Apabila ada keadaan yang mendesak masih memiliki simpanan makanan pokok.

Hidup di desa itu sangat menyenangkan. Tingkat interaksi sosial yang tinggi. Bahan-bahan makanan yang bisa mudah kudapati. Di masa kecil saja, aku belajar mata angin dari seekor hewan kecil ketika di sawah. Lupa namanya apa, tetapi ketika aku bilang ngalor (ke utara) kepalanya membengkok ke utara. Begitu seterusnya ketika kumenyebutkan mata angin lainnya. Jadi, kepalanya membengkok sesuai dengan apa yang aku katakan.

Arti kehidupan memang begitu luas. Tetapi, kesederhanaan dalam prosesnya akan memberi kesan tersendiri. Di manapun kita berada harus berupaya menerima. Belum tentu apa yang tampak sesuai dengan nyatanya. Seperti di masa kecil aku ingin sekali tahu bagaimana kehidupan kota. Aku kira terdapat romansa yang baik. Ternyata sebaliknya.

Senang bisa merasakan proses perubahan bumi terjadi. Mulai jalanan dekat rumah yang masih tanah hingga sekarang menjadi aspal. Hutan-hutan yang dulunya banyak kini terpenuhi oleh rumah-rumah baru. Setiap perubahan pasti ada kebaikan. Sama seperti saat ini dari yang orang-orang meragukan dan kurang peduli dengan kesehatan jadi lebih respect.

Kemanusiaan dan kegotong-royongan yang mulai pudar kembali lagi bersemi. Tetapi, satu hal yang sangat perlu disirami lagi. Hal itu adalah rasa percaya terhadap orang lain. Krisis rasa ini akan berdampak begitu besar bagi berlangsungnya kehidupan. Ya, seperti sekarang ini. Viralnya Indonesia terserah. Rasa apatis dan sangat tragis. Kehidupan setiap orang jelaslah berbeda. Tetapi, janganlah kita membunuh manusia yang berpenghuni di negara ini dengan meningkatkan rasa ketidakpercayaan dan ketidakpedulian.

Mana persatuan yang terus digelorakan? Sebuah pertanyaan yang bukan untuk para pemuda saja. Tetapi seluruh masyarakata Indonesia. Percuma jika terus bersuara di mana-mana. Tetapi tidak ada rasa saling menghargai dan peduli antar masyarakat. Aku percaya jika bangsa akan kembali pulih. Aku pun percaya semua berharap seperti ini. Kata pulih akan hanya berbuih jika tidak ada sebuah tindakan konsolidasi bersama untuk kebaikan bangsa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekonomi Kreatif, Lestarikan Budaya

Disbudpar Kota Blitar, Stakeholder, Batik Mawar Putih  Kita tidak asing lagi dengan kosakata ekonomi kreatif dan pelestarian budaya. Tingkatan pemerintah daerah mendorong program tersebut. Bagaimana tidak? Fasilitas berbagai agenda kebudayaan telah ada di Kota Blitar. Apalagi menjelang bulan pertengahan hingga akhir tahun, selalu disemarakkan dengan festival. Kali ini Zulfa Ilma Nuriana hadir bersama Ikla Harmoa dalam sarasehan stakeholder yang diselenggarakan oleh Disbudpar Kota Blitar. Mereka sebagai perwakilan Forum Lingkar Pena Blitar. Keseruan mengikuti agenda ini terwujud dalam sesi tanya jawab yang diawali dengan promosi company. Selain itu, usai agenda pun bisa berbincang dengan narasumber maupun yang lain. Agenda ini lebih hidup karena ada sesi belajar.  Sesi belajar atau umumnya dikatakan seminar ini bertajuk Strategi Industri Kreatif Lokal Menembus Pasar Global. Pematerinya ialah sepasang suami istri bernama Yogi Rosdianta dan Santika Mawar dari Batik Mawar Putih. Materi yan

Kereta Lagi, Kereta Terus

Pengambilan Foto di jalan Sultan Ahmed, Istanbul  Perjalanan pada Januari 2020 lalu begitu berkesan. Karena banyak hal yang dapat Zulfa eksplor di Türkiye, khususnya daerah Istanbul. Berbekal jiwa nekad dan ridho orang tua, Zulfa memberanikan diri untuk mengikuti agenda Konferensi Tingkat Tinggi. Bonusnya ia bisa extend 6 hari di Istanbul. Enaknya di kota ini kita kemana-mana dengan kereta. Ada kereta di jalan raya dan bawah tanah. Pemanfaatannya juga gampang yang penting punya saldo di Istanbul Card. Cukup padat transportasi umum dan pribadi. Karena selama di sini, Zulfa selalu menjumpai kendaraan. Tapi itu ada di jalan raya.  Jalan-jalan kecil hanya ada kendaraan pribadi. Bedanya budaya antri di Istanbul dan Blitar itu begitu kontras. Ketika Zulfa antri, ia hanya melihat sedikit tempat duduk untuk menunggu. Cukup kaget juga, ternyata lebih banyak antri berdiri dan tinggal masuk daripada duduk di kursi tunggu. Kala itu ia sempat berpikir, "Gercep amat orang-orang masuk ke kereta

Perburuan Tiket Konferensi di Türkiye

Zulfa Ilma Nuriana dalam Koran Jawa Pos tahun 2020 Tiket pesawat yang bikin jantung up and down . Belinya aja tiga hari sebelum tanggal keberangkatan. Hubungin banyak orang di tengah malam. Gak tahu gimana proses belinya. Jalan kepepet kulalui yakni beli pada agen tiket. Awalnya dapat tiket yang perlu transit. Tapi tiket tersebut terdahului oleh yang lain, aku pun dicarikan lagi. Syukur sekali aku justru dapat tiket yang pulang pergi tanpa transit dengan maskapai Turkish Airlines.  Perjalanannya pun juga tak singkat. Hampir 12 jam di dalam pesawat Turkish Airlines. Namun tak melelahkan karena fasilitasnya begitu baik. Kunikmati dengan mendengar murotal, lagu, mengamati langit, tidur, makan, ibadah, dan menonton film pada monitor atau TV kecil. Mau menyicil penelitian, tapi tak bisa karena melihat layar laptop bikin pusing. Sempat terjadi turbulence yang cukup lama. Alhamdulillah tidak begitu terasa guncangannya meski panik juga di awal.  Perjalanan menuju konferensi Istanbul Youth Sum