Pandemi Covid-19 seakan mengubah mindset pribadi. Dulu, lama di dalam rumah lalu keluar memiliki nuansa sama. Namun, untuk saat ini beda. Ada berbagai pertanyaan yang terkumpul pada benakku. Pos-pos kampling yang dulunya reot sekarang berfungsi kembali.
Penjagaan di setiap lingkungan RT/RW begitu ketat. Di desaku yang mulanya tidak ada palang pintu di perbatasan, sekarang menjadi ada. Palang pintu sederhana dari pring petuk (bambu besar) yang di cat merah putih.
Ramadan yang hampir usai menyiratkan segala pesan. Bingung antara mau memberikan senyuman atau tangisan. Rasa syukur masih lebih mendominasi. Lingkungan yang tampak asri membuat diri semakin terwarnai. Masih bisa menyambut pagi dengan cuitan burung-burung yang terbang ke sana ke mari.
Di setiap pagi, kudapati kesejukan jasmani dan rohani. Namun, di sebuah perjalanan mengantar sembako, mataku terus tertuju kepada mereka yang tak mentaati. Ya, berlalu-lalang tanpa menggunakan masker. Pasti sulit bagi manusia untuk tidak berinteraksi lama dengan manusia lain. Karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial. Tetapi, sengsara di awal apakah tidak bisa? Daripada sengsara berkepanjangan.
Kebersihan sebenarnya sering diajarkan ke kita. Tetapi, mungkin hanya beberapa yang memahami. Kebiasaan sederhana yakni membersihkan kaki dan tangan setelah ziarah ke makam. Bapak selalu mengingatkan kepadaku. Sebelum masuk rumah harus membasuh kaki dan tangan. Kini bukan hanya setelah ziarah lagi melainkan setiap kita keluar dari rumah.
Baru teringat pula, kalau Ibu pernah cerita tentang masa kecilnya. Di masanya Ibu sering melihat tindakan nenek. Tindakan yang menyisihkan sedikit beras setiap membeli beras. Nah, tujuannya itu untuk menabung. Apabila ada keadaan yang mendesak masih memiliki simpanan makanan pokok.
Hidup di desa itu sangat menyenangkan. Tingkat interaksi sosial yang tinggi. Bahan-bahan makanan yang bisa mudah kudapati. Di masa kecil saja, aku belajar mata angin dari seekor hewan kecil ketika di sawah. Lupa namanya apa, tetapi ketika aku bilang ngalor (ke utara) kepalanya membengkok ke utara. Begitu seterusnya ketika kumenyebutkan mata angin lainnya. Jadi, kepalanya membengkok sesuai dengan apa yang aku katakan.
Arti kehidupan memang begitu luas. Tetapi, kesederhanaan dalam prosesnya akan memberi kesan tersendiri. Di manapun kita berada harus berupaya menerima. Belum tentu apa yang tampak sesuai dengan nyatanya. Seperti di masa kecil aku ingin sekali tahu bagaimana kehidupan kota. Aku kira terdapat romansa yang baik. Ternyata sebaliknya.
Senang bisa merasakan proses perubahan bumi terjadi. Mulai jalanan dekat rumah yang masih tanah hingga sekarang menjadi aspal. Hutan-hutan yang dulunya banyak kini terpenuhi oleh rumah-rumah baru. Setiap perubahan pasti ada kebaikan. Sama seperti saat ini dari yang orang-orang meragukan dan kurang peduli dengan kesehatan jadi lebih respect.
Kemanusiaan dan kegotong-royongan yang mulai pudar kembali lagi bersemi. Tetapi, satu hal yang sangat perlu disirami lagi. Hal itu adalah rasa percaya terhadap orang lain. Krisis rasa ini akan berdampak begitu besar bagi berlangsungnya kehidupan. Ya, seperti sekarang ini. Viralnya Indonesia terserah. Rasa apatis dan sangat tragis. Kehidupan setiap orang jelaslah berbeda. Tetapi, janganlah kita membunuh manusia yang berpenghuni di negara ini dengan meningkatkan rasa ketidakpercayaan dan ketidakpedulian.
Mana persatuan yang terus digelorakan? Sebuah pertanyaan yang bukan untuk para pemuda saja. Tetapi seluruh masyarakata Indonesia. Percuma jika terus bersuara di mana-mana. Tetapi tidak ada rasa saling menghargai dan peduli antar masyarakat. Aku percaya jika bangsa akan kembali pulih. Aku pun percaya semua berharap seperti ini. Kata pulih akan hanya berbuih jika tidak ada sebuah tindakan konsolidasi bersama untuk kebaikan bangsa.
Penjagaan di setiap lingkungan RT/RW begitu ketat. Di desaku yang mulanya tidak ada palang pintu di perbatasan, sekarang menjadi ada. Palang pintu sederhana dari pring petuk (bambu besar) yang di cat merah putih.
Ramadan yang hampir usai menyiratkan segala pesan. Bingung antara mau memberikan senyuman atau tangisan. Rasa syukur masih lebih mendominasi. Lingkungan yang tampak asri membuat diri semakin terwarnai. Masih bisa menyambut pagi dengan cuitan burung-burung yang terbang ke sana ke mari.
Di setiap pagi, kudapati kesejukan jasmani dan rohani. Namun, di sebuah perjalanan mengantar sembako, mataku terus tertuju kepada mereka yang tak mentaati. Ya, berlalu-lalang tanpa menggunakan masker. Pasti sulit bagi manusia untuk tidak berinteraksi lama dengan manusia lain. Karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial. Tetapi, sengsara di awal apakah tidak bisa? Daripada sengsara berkepanjangan.
Kebersihan sebenarnya sering diajarkan ke kita. Tetapi, mungkin hanya beberapa yang memahami. Kebiasaan sederhana yakni membersihkan kaki dan tangan setelah ziarah ke makam. Bapak selalu mengingatkan kepadaku. Sebelum masuk rumah harus membasuh kaki dan tangan. Kini bukan hanya setelah ziarah lagi melainkan setiap kita keluar dari rumah.
Baru teringat pula, kalau Ibu pernah cerita tentang masa kecilnya. Di masanya Ibu sering melihat tindakan nenek. Tindakan yang menyisihkan sedikit beras setiap membeli beras. Nah, tujuannya itu untuk menabung. Apabila ada keadaan yang mendesak masih memiliki simpanan makanan pokok.
Hidup di desa itu sangat menyenangkan. Tingkat interaksi sosial yang tinggi. Bahan-bahan makanan yang bisa mudah kudapati. Di masa kecil saja, aku belajar mata angin dari seekor hewan kecil ketika di sawah. Lupa namanya apa, tetapi ketika aku bilang ngalor (ke utara) kepalanya membengkok ke utara. Begitu seterusnya ketika kumenyebutkan mata angin lainnya. Jadi, kepalanya membengkok sesuai dengan apa yang aku katakan.
Arti kehidupan memang begitu luas. Tetapi, kesederhanaan dalam prosesnya akan memberi kesan tersendiri. Di manapun kita berada harus berupaya menerima. Belum tentu apa yang tampak sesuai dengan nyatanya. Seperti di masa kecil aku ingin sekali tahu bagaimana kehidupan kota. Aku kira terdapat romansa yang baik. Ternyata sebaliknya.
Senang bisa merasakan proses perubahan bumi terjadi. Mulai jalanan dekat rumah yang masih tanah hingga sekarang menjadi aspal. Hutan-hutan yang dulunya banyak kini terpenuhi oleh rumah-rumah baru. Setiap perubahan pasti ada kebaikan. Sama seperti saat ini dari yang orang-orang meragukan dan kurang peduli dengan kesehatan jadi lebih respect.
Kemanusiaan dan kegotong-royongan yang mulai pudar kembali lagi bersemi. Tetapi, satu hal yang sangat perlu disirami lagi. Hal itu adalah rasa percaya terhadap orang lain. Krisis rasa ini akan berdampak begitu besar bagi berlangsungnya kehidupan. Ya, seperti sekarang ini. Viralnya Indonesia terserah. Rasa apatis dan sangat tragis. Kehidupan setiap orang jelaslah berbeda. Tetapi, janganlah kita membunuh manusia yang berpenghuni di negara ini dengan meningkatkan rasa ketidakpercayaan dan ketidakpedulian.
Mana persatuan yang terus digelorakan? Sebuah pertanyaan yang bukan untuk para pemuda saja. Tetapi seluruh masyarakata Indonesia. Percuma jika terus bersuara di mana-mana. Tetapi tidak ada rasa saling menghargai dan peduli antar masyarakat. Aku percaya jika bangsa akan kembali pulih. Aku pun percaya semua berharap seperti ini. Kata pulih akan hanya berbuih jika tidak ada sebuah tindakan konsolidasi bersama untuk kebaikan bangsa.
Komentar
Posting Komentar