Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Puisi

Kasta Fana

Alam bercumbu mesra Meski berdarah dalam jiwa Sang Fajar tergelincir di pagi Tanda hari telah berganti Burung-burung terbang tinggi Bersuka ria, bernyanyi tiada henti Angin dingin merasuk dalam relung hati Beradu dengan embun pagi Bulir demi bulir jatuh Ia tak mengeluh Itik-itik mengejar induk Tapi sayang tak gemuk! Kanan kiri Masih saja jadi simbolisasi Siapa bilang negara terkutuk? Mungkin dia masih mengantuk Blitar, 25 Juni 2021 loading...

Semesta Tak Bertanya

  Pagi tanpa suara Langkah kaki menuju Sang Pencipta Tampak putih, bersih Tapi dirundung sedih Ramadhan telah pergi Syawal masih dilalui Sejuta kata mohon diampuni Baik yang tampak maupun tersembunyi Dalam ruang tekhnologi Kita kembali fitri Tanpa berjabat tangan Saling memaafkan   Jangan bertanya pada semesta Bertanyalah pada diri Sudahkah dari hati? Atau sekedar formalisasi Blitar, 22 Mei 2021 loading...

Bungkus atau Hangus

  Semua fokus Tak ingin lepas Sangat beringas Siapa yang dinanti? Hilang rasa manusiawi Tiada peduli "Sudah tidak perlu!" Nafsu terus memburu "Sebentar lagi jadi" Si Fulan tersaji Si Penunggu makin menjadi Bersih, tiada sisa Blitar, 13 Mei 2021 loading...

Kata Dalam Duka

Awan hitam bercumbu dengan mesra Tiada henti kucuran air mata  Banyak pula karangan bunga Busana hitam putih mengiringi Ku mulai menyadari Bila ku sudah pergi Tinggalkan kefanaan duniawi Menyatukan diri dengan bumi Aku menuju alam abadi Blitar, 12 April 2021  loading...

World Poetry Day

Bukan Kopi   Penuh diksi tapi bukan fiksi  Penuh mimpi bukan sekedar ambisi  Frasa tertata di bilah kursi  Puisi terus beregenerasi  Jalan-Nya terus tersinari  Inilah dunia imaji  Nyata yang Maya  Fakta penuh dusta   Malang, 21 Maret 2021 loading...

Singkat penuh Isyarat

  Tak butuh waktu lama Semua menjadi gelap Mereka yang tidur terlelap langsung tersingkap Ragu dan jemu dengan negaramu? Ingat! Jihat untuk kemerdakaan telah digaungkan Perjuangan tak berhenti pada masa penjajahan Kala itu, Penuh tangis, darah, dan amarah Semua pun pasrah Pontang-panting dan gegabah Tak pedulikan rasa kemanusiaan Hanya jalankan perintah dari pemegang kekuasaan Waktu singkat yang gelap Gagap! Gagap! Gagap! Hati telah membatu Keadilan telah membisu Rakyat sendiri menjadi babu! Jika sejarah terus dibiaskan Bagaimana generasi bangsa Indonesia? Akankah kita harus diam? Terus terbungkam akan tipu muslihat Moral telah terjajah Budaya terkikis dan tak berarah Jangan biarkan ini terus menghantui negeri Kecil memang tapi menggamangkan Bersatu untuk kemerdekaan Kemerdakaan yang manusiawi bukan fiksi Pelan namun pasti Keadilan harus bersemi kembali di Bumi Pertiwi Blitar, 30 September 2020 loading...

Rantai Kata

Pengerdilan sebuah gegayuhan Tak bisa lagi dielakkan Katanya untuk kepemudaan Tapi nyatanya manipulasi peradaban Tipu muslihat tak bermartabat Si pendebat menjadi hebat Si pengikut tetaplah kecut Bangsa semakin carut marut Si pemakan beras bulog tak mau diam Melihat bangsa semakin kelam Melihat budaya semakin tenggelam Katanya Merdeka? Gegayuhan pun terus dikerat Tak boleh menjulang hebat Namun, si pemakan beras bulog tak kurang siasat Mengobarkan semangat tuk wujudkan tekad Dalam dirinya arus deras darah hanya untuk negeri Tak peduli caci maki Terus mendompleng seni tuk kuatkan jati diri Jati diri pemudi bumi pertiwi Hingga bukan hanya suara semu yang tak bermutu Tapi wujud nyata budaya yang menjelma Menjelma menjadi penggerak warga nusantara Tuk jadikan negara Merdeka Karena budaya sejatinya kebiasaan warga Cermin dari tata krama Serta terus melekat tanpa diikat Maka jangan terlena pada budaya barat Kini si pemakan beras bulog tak lagi penat walau

Tirai Puisi

  AKU Kalau sampai waktuku Kumau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulan terbuang Biar perluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Maret 1943 Perkenalanku dengan puisi sangatlah sederhana. Tepatnya di kelas X saya mendapat tugas untuk membacakan puisi di depan kelas. Puisi yang kubaca adalah karya sastrawan legendaris. Dua tanggal yang menunjukkan kematian dan kelahirannya pun diperingati sebagai Hari Puisi Nasional dan Hari Puisi Indonesia. Siapakah beliau? Chairil Anwar telah mewarnai Indonesia dengan rangkaian kata-kata. Ia dijuluki Si Binatang Jalang. Seorang yang lahir di Medan dan meninggal di Jakarta menyisakan kenang. Penyair Indonesia lainnya pun memanfaatkan tanggal 28 April dan 26 Juli sebagai momentum kenang. Puisi yang berjudul AKU telah kubacakan di dep

Terjeda di Balik Tenda

Nalar naluri terbakar Hati getar, raga terkapar Jiwa pun nanar Teriak menyisakan isak Beras tak termasak Air tak mengalir Deras deru jantung bumi terjungkir Hidup rakyat kian getir Tapi, tak menyingkap hati pemuka negeri Terjeda di balik tenda Tak menyangka Indonesia telah beda Merdeka untuk siapa? Blitar, 23 Juli 2020 loading...

Sajak untuk Eyang

Hujan Bulan Juni telah terlewati Larik-larik puisi harum mewangi Pagi ini, tepat 19 Juli Tak percaya pikir dan hati Eyang telah kembali Duka pun terjadi  Ibu pertiwi menangis Sastrawannya terkikis Tapi, duka tak memberi luka melainkan kuatkan jiwa Torehan rasa dalam kata Paduan senja dengan sastra Banjir sajak dalam sekejap saja Eyang, Karyamu kan terus berkelana Sastra akan memuda  Walau diriku menua Blitar, 19 Juli 2020

Misteri Turki

Jejakkan kaki di Negeri Turki Merajut berbagai mimpi Menggulung berbagai misteri Jatuh tuk meninggi Perlahan hati berat tuk melupa Bukan sekedar cerita senja Di Negeri 2 Benua kudapati ketulusan nyata Sangat terasa jika jauh dari orang tua Syukur yang tak terukur Mimpi itu tak lagi kabur Hatiku terasa tersungkur Tersungkur malu akan karunia-Mu Secercah cahaya Ilahi pun menyelimuti Romansa Ibu Pertiwi kembali Walau raga di Negeri Turki Walau jiwa kagum akan luar negeri Tak ada tirai penghalang tuk mengenang Kubebas tanpa terkekang Pagi, Siang, Sore berganti malam Hati terjatuh tanpa gumam Blitar, 22 Juni 2020

Palang Pintu Hatimu

Ada waktu yang beranjak semu Tiada rasa palsu tentang dirimu Jalan-jalan tertutup palang pintu Tetapi, luka yang kau beri tak kan tandingi syukurku Jika kau menangis aku pun lebih teriris Mulutku terbungkam Bukan berarti ku tak peduli Tapi, tak mampu tuk berucap berkali-kali Cukup hati yang saling mengerti Tak perlu banyak berucap janji Maaf, jika kau tak mampu memahamiku Ku tak memaksa akan hal itu Percayalah, Ibu, kutitipkan doa di setiap sujudku Bapak pun peduli akan rasamu Maaf ku tak mampu jaga hatimu Semoga waktu meluluhkan jiwamu Tuk mendengar lirih suara hatiku Sekejap tanpa kata ini cukup menyiksaku Palang pintu hatimu pasti kan terbuka kembali, untuk kami yang selalu menanti Blitar, 13 Mei 2020

Memoar

Diamku tak bisa tutupi rindu Semua terputar dan terus melaju Adakah romansa biru? Bukan, ternyata itu kalbu Perseteruan yang tak henti Memoar itu merasuk hati Bukan benci Tapi, rasa ingin kembali Maaf ucapku menghianati rasa Susah tuk melafalkan kata cinta Namun, doa tetap terajut dalam asa yang tak kenal pagi maupun senja Di rumah-Nya kutitipkan semua Seberapa lama kumelangkah Kuharap tak hanya langkahku yang menuai berkah Tak kesengajaan berikan kesan Jalan-Nya perlahan melekatkan Blitar, 11 Mei 2020

Gegayuhan Si Pemakan Beras Bulog

Pengkerdilan sebuah gegayuhan  Tak bisa dielakkan  Katanya untuk kepemudaan  Tapi nyatanya manipulasi peradaban  Tipu muslihat tak bermartabat  Si pendebat menjadi hebat  Si pengikut tetaplah kecut  Bangsa semakin carut marut  Si pemakan beras bulog tak mau diam  Melihat bangsa semakin kelam  Melihat budaya semakin tenggelam  Katanya Merdeka?  Gegayuhan pun terus dikerat  Tak boleh menjulang hebat  Namun, si pemakan beras bulog tak kurang siasat  Tuk terus mengobarkan semangat demi terwujudnya tekad  Dalam dirinya, darah mengalir deras hanya untuk negeri  Tak peduli caci maki  Terus mendompleng seni tuk kuatkan jati diri  Jati diri pemudi bumi pertiwi  Hingga bukan hanya suara yang fatamorgana Tapi wujud nyata budaya yang menjelma  Menjelma menjadi penggerak pemuda nusantara  Tuk jadikan negara Merdeka, jiwa raga  Karena budaya sejatinya tumbuh dan berkembang pada suatu bangsa Tindakan dari olah rasa dan karsa 

Tuan Puisi

Sedikit yang kutahu Kau perangkai huruf-huruf yang bisu Menjadi klausa yang bersuara Tak romantis tapi Kritis! Suara tiap baitnya menggelora Jiwa-jiwa lemah pun tergugah Tuk terus mengalirkan semangat megah Puisi-puisi seperti petisi Bukan bermodal benci Tapi, kejujuran diri Tuk keadilan di bumi pertiwi Blitar, 28 April 2020

Tong-Tong Kosong

Tong-tong berbunyi nyaring Tak ada penghuni yang bergeming Dimanakah penghuninya? Tak kusangka penghuninya hilang Tidak! Tidak hilang! Para penghuni telah menjadi bukit Menebar bibit penyakit Tak ada beda, semua menjadi satu Bau busuk menyarang dihadapanku Siapa berulah? Tak mau berbenah Sedikit ulah, berdampak megah Ya! Sangatlah megah Manusia mampu mengikis habis Hingga alam terluka tapi tak menangis Mau menasehati tapi tak ditanggapi Mau memaki tapi hati masih punya kasih sesama insani Mirisnya tong-tong kopong Mirisnya tanaman pot berbunga plastik Tong hanya bengong Tanaman tak bisa berkutik Kemana insan yang bermoral dan berbudi? Hilang dibalik kehancuran bumi Alangkah baik kau tampakkan diri Jangan bersembunyi Bawa bumi kembali asri Hilangkan ego diri Alam menanti tulus hati pemuda pemudi Tuk membumi hijaukan NKRI   Blitar, 16 April 2019

Juang yang Terngiang

Tak terasa sudah lama kisahmu Tetapi, terngiang selalu Perjuangan yang kau berikan kala itu terus menyeru dan memburu langkahku Harapanku, di pagi sayup ini Cukup sederhana Bumi Pertiwi jadilah tanah yang suci Bukan tanah yang penuh dusta Retorika terkadang membuatku gerah Bumi Pertiwipun sudah jengah Tapi, para borjuis tetap sumringah Tak peduli buminya telah berdarah Ya Allah, Berikan kekuatan pada hamba-Mu tuk kembalikan bumi menjadi suci Jika tak banyak yang mengerti Ku tak peduli Cukup satu tapi memberi perubahan yang pasti Seperti dulu, Engkau berikan Kartini pada Bumi Pertiwi Kartini, Kau tetap perempuan sejati Di kala kaummu tertindas dan tak berarti Niatmu yang tiada dusta Berikan semangat juang generasi Bumi Pertiwi tercinta Nyata dan tetap mengalir walau kau tiada Blitar, 21 April 2020

Tanpa Jawab

Sebuah angan tanpa jawab Bingung tuk mengungkap Sekedar rasa yang terus terjaga Percaya akan pilihan-Nya Malam itu memberiku pesan Tetap jaga prinsip dan keyakinan Jangan terlena akan kenikmatan Terus melangkah dengan membawa iman Aku memang sekedar perempuan kecil Tapi, tak ingin merasa terpencil Aku punya harapan untuk bangsa Tapi, tak ingin sekedar beretorika tanpa makna Ya pastinya kuingin sebuah pelita yang tak hanya ada di malam saja Tetapi, di setiap doa Jika ia yang terbaik dari-Nya Kupercaya ia akan menjaga ketaqwaan dan keimanannya Jangan jadikan jarak sebagai alasan tuk menjauh Kuhanya ingin berlabuh Entah ditempat yang teduh  atau penuh gemuruh Blitar, 3 April 2020

Ruang Tanya Penuh Makna

Jendela sederhana tak berkata Kutatap alam di luar sana Tersenyum lepas penuh makna Melupa lara yang tersisa Tiba-tiba kau datang layaknya bintang Bertanya tentang apa dan kenapa Aksara demi aksarapun terajut tanpa jeda Canda tawa menyikap waktu yang ada Blitar, 30 Oktober 2019

Pantai & Bapak

Pantai Pacar, Pucang Laban, Tulungagung Terima kasih bapak, kau telah membawaku ke tempat yang begitu indah. Dimana kumemahami besarnya karunia-Nya.   Pantai menjadi awal perkenalanku dengan alam. Namun, tak semua dapat kudokumentasikan. Waktu berlalu begitu cepat. Kini, deburan ombak yang sering kudengar sudah mulai hilang. Sosok bapak mulai menua. Ketika kumulai berada di tempat yang jauh darinya ada timbul rasa yang tidak enak. Kejanggalan disetiap langkah selalu ada.  Setidaknya kukurangi ego yang ada. Demi ketentraman semuanya. Memang diri ingin bermain kesana kemari tapi bukan saat ini. Pasti ada masa yang terbaik yang akan membawa pergi dengan kekuatan Sang llahi. Tak sekedar bermain tapi berbagi.