Pahlawan di masa silam telah berkorban harta, tahta, dan keluarga demi Merdekanya Indonesia. Rakyat-rakyat makan singkong. Tak sedikit berpakaian karung goni. Tapi, masa kini telah berbeda.
Tiada belenggu penjajahan melainkan kesehatan dan budaya. Perlahan-lahan pandemi yang sudah 1 tahun lebih ini merenggut kebiasaan guyub rukun. Individualis yang tercipta karena globalisasi pun semakin melekat.
Teknologi juga menjadi pemanis dari masa kritis. Banyak yang terlena karena dimudahkan olehnya. Lupa akan rasa. Terkurung dalam dunia maya. Tertawa pada benda bukan makhluk bernyawa. Apa rasa sudah mati? Apakah yang bernyawa hanya imaji?
Anak-anak yang berusia 2-4 tahun sudah sulit untuk lepas dari gawai! Mereka hanya diam dengan menatap berbagai hal yang ditawarkan pada gawainya. Siapa yang harus sigap? Bukan sekedar orang tua. Tetapi, seluruh warga Indonesia.
Lengah sedikit saja, bonus demografi hanya menjadi bualan senja. Tenggelam seketika tanpa ada harapan untuk jaya.
Pandemi covid-19 pun tak bisa menjadi alasan untuk tak mempertahankan budaya bangsa. Jika mulut tak dapat menampakkan senyum karena bermasker, maka mata dan anggukan kepala bisa menggantikannya.
Beri ruang pada diri untuk menjadi manusia sejati. Bukan manusia robot. Nikmati dan berkreasi dengan alam di bumi Pertiwi. Jangan sampai terfokus pada digitalisasi hingga tak merasa diri telah dikuasai.
Alam sudah terkikis dan menangis. Masihkah merenggut diri sendiri? Estafet juang masih terus berlanjut. Walau dunia semakin kalut.
Sedikit pemuda yang peduli dengan kondisi bangsa, pasti mampu membuat peradaban baru. Tak hanya tertuju dan memburu nafsu. Tapi, mendekatkan diri pada Sang Ilahi. Seketika, berbagai hal akan mendekati tanpa mencari.[]
Komentar
Posting Komentar