Langsung ke konten utama

Nilai Pasti atau Maknawi?


Kerap kali kita temui pertanyaan-pertanyaan yang dapat menyudutkan seseorang. Memang tidak bermaksud merendahkan tetapi secara implisit menciutkan nyali. Tidak semua hal diukur berdasar nilai pasti. Perlu kita lihat secara maknawi. Mengapa saya menuliskan nilai pasti bukan nilai?

Karena dalam ruang filsafat, nilai menjadi arti dari aksiologi. Aksiologi membahas tentang nilai-nilai kehidupan (Darwis, 2009). Berpikir aksiologi merupakan cara memahami suatu hal dengan melihat nilai guna dan manfaatnya. Nah, sedangkan saya di sini tidak berbicara soal ini melainkan nilai pasti atau angka atau numerik.

Siapa sih yang sampai saat ini tidak pernah ditanyai, Berapa peringkatmu Nak? Berapa usiamu? Berapa kali kamu sudah mengkhatamkan Al Qur'an? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu kita renungi sejenak. Bisa gak sih seseorang memahami sebuah ilmu dengan ditanyai seperti itu.

Bukannya pertanyaan itu menambah tekanan pada diri seseorang. Pertanyaan yang hanya berorientasi pada hasil. Tidak menghargai suatu proses. Nah, coba kita rasakan dengan pertanyaan di bawah ini:

Bagaimana prosesmu mempelajarinya?
Kenapa kamu merasa kesulitan?

Pertanyaan menggunakan bagaimana dan kenapa ini akan lebih mendorong semangat, membangkitkan proses berpikir, dan meningkatkan kedekatan antara penanya dengan yang ditanya. Orientasi pada proses akan lebih memberikan feeling pada seseorang yang sedang berjuang.

Jika terus-terusan berorientasi pada hasil, kegagalan pasti sulit dilupakan. Dirinya akan mengalami keterpurukan yang lama. Rasa percaya dirinya semakin berkurang. Seseorang akan sulit untuk bangkit dan berkembang kembali.

Seseorang yang berada di peringkat bawah bukan berarti tidak mampu. Orang yang berada pada usia muda bukan berarti sedikit pengalamannya. Khatam berkali-kali Al Qur'an, belum tentu mengamalkan apa yang sudah dibaca berulang-ulang.

Semuanya tidak instan. Butuh proses untuk menjadi yang terbaik. Jika tidak ada yang menghargai prosesmu, hargailah dirimu telah diberikan kehidupan oleh-Nya. Boleh berburu nilai tapi nilai yang bermanfaat bukan sekedar nilai baik versi manusia.

Referensi
Soelaiman, D. A. (2009). FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN Perspektif Barat dan Islam. Bandar Publishing: Banda Aceh.
loading...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekonomi Kreatif, Lestarikan Budaya

Disbudpar Kota Blitar, Stakeholder, Batik Mawar Putih  Kita tidak asing lagi dengan kosakata ekonomi kreatif dan pelestarian budaya. Tingkatan pemerintah daerah mendorong program tersebut. Bagaimana tidak? Fasilitas berbagai agenda kebudayaan telah ada di Kota Blitar. Apalagi menjelang bulan pertengahan hingga akhir tahun, selalu disemarakkan dengan festival. Kali ini Zulfa Ilma Nuriana hadir bersama Ikla Harmoa dalam sarasehan stakeholder yang diselenggarakan oleh Disbudpar Kota Blitar. Mereka sebagai perwakilan Forum Lingkar Pena Blitar. Keseruan mengikuti agenda ini terwujud dalam sesi tanya jawab yang diawali dengan promosi company. Selain itu, usai agenda pun bisa berbincang dengan narasumber maupun yang lain. Agenda ini lebih hidup karena ada sesi belajar.  Sesi belajar atau umumnya dikatakan seminar ini bertajuk Strategi Industri Kreatif Lokal Menembus Pasar Global. Pematerinya ialah sepasang suami istri bernama Yogi Rosdianta dan Santika Mawar dari Batik Mawar Putih. Materi yan

Kereta Lagi, Kereta Terus

Pengambilan Foto di jalan Sultan Ahmed, Istanbul  Perjalanan pada Januari 2020 lalu begitu berkesan. Karena banyak hal yang dapat Zulfa eksplor di Türkiye, khususnya daerah Istanbul. Berbekal jiwa nekad dan ridho orang tua, Zulfa memberanikan diri untuk mengikuti agenda Konferensi Tingkat Tinggi. Bonusnya ia bisa extend 6 hari di Istanbul. Enaknya di kota ini kita kemana-mana dengan kereta. Ada kereta di jalan raya dan bawah tanah. Pemanfaatannya juga gampang yang penting punya saldo di Istanbul Card. Cukup padat transportasi umum dan pribadi. Karena selama di sini, Zulfa selalu menjumpai kendaraan. Tapi itu ada di jalan raya.  Jalan-jalan kecil hanya ada kendaraan pribadi. Bedanya budaya antri di Istanbul dan Blitar itu begitu kontras. Ketika Zulfa antri, ia hanya melihat sedikit tempat duduk untuk menunggu. Cukup kaget juga, ternyata lebih banyak antri berdiri dan tinggal masuk daripada duduk di kursi tunggu. Kala itu ia sempat berpikir, "Gercep amat orang-orang masuk ke kereta

Perburuan Tiket Konferensi di Türkiye

Zulfa Ilma Nuriana dalam Koran Jawa Pos tahun 2020 Tiket pesawat yang bikin jantung up and down . Belinya aja tiga hari sebelum tanggal keberangkatan. Hubungin banyak orang di tengah malam. Gak tahu gimana proses belinya. Jalan kepepet kulalui yakni beli pada agen tiket. Awalnya dapat tiket yang perlu transit. Tapi tiket tersebut terdahului oleh yang lain, aku pun dicarikan lagi. Syukur sekali aku justru dapat tiket yang pulang pergi tanpa transit dengan maskapai Turkish Airlines.  Perjalanannya pun juga tak singkat. Hampir 12 jam di dalam pesawat Turkish Airlines. Namun tak melelahkan karena fasilitasnya begitu baik. Kunikmati dengan mendengar murotal, lagu, mengamati langit, tidur, makan, ibadah, dan menonton film pada monitor atau TV kecil. Mau menyicil penelitian, tapi tak bisa karena melihat layar laptop bikin pusing. Sempat terjadi turbulence yang cukup lama. Alhamdulillah tidak begitu terasa guncangannya meski panik juga di awal.  Perjalanan menuju konferensi Istanbul Youth Sum