Langsung ke konten utama

Filosofi Petje



Petje berasal dari Bahasa Belanda 'pet' berarti kupiah, 'je' akhiran yang menunjukkan 'kecil'. Bapak sering memakainya kemanapun ia pergi. Tampak berwibawa dan eksotik. Keingintahuan yang tinggi tentang asal usul petje membuat saya terus terheran-heran. Banyak masyarakat Indonesia utamanya muslim menggunakan petje atau biasanya disebut kopiah.

Suatu peristiwa yang penting melibatkan Bung Karno, memberinya kesan yang mendalam. Itu terjadi sebelum ia meninggalkan Surabaya. Peristiwa itu adalah rapat Jong Java. Pada rapat sebelumnya, ada sebuah diskusi yang dilakukan oleh kelompok yang disebut intelegensia. Kelompok tersebut tidak menyukai pemakaian apapun jenis penutup kepala, karena ingin seperti orang Barat yang berkulit putih. Tindakan itu merupakan cara mereka untuk mengejek kalangan masyarakat rendah secara halus.

Tetapi, hal itu tidak berlaku bagi Bung Karno. Ia berpikir bahwa seseorang tidak akan dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka. Alhasil beliau pun menjadi beda di antara kelompok itu. Walaupun sebelum rapat ia dan dirinya berdebat sengit, "Apakah engkau seorang pengekor, atau pemimpin?"--"Aku seorang pemimpin," jawabnya tegas. ---- "Kalau begitu, buktikanlah," katanya lagi pada dirinya. "Majulah. Pakailah pecimu. Tarik napas yang dalam! Dan masuklah ke ruangan rapat .... SEKARANG!!!"

Ia pun melakukannya. Namun, banyak orang menatapnya dan suasana pun hening. Ia pun memecah keheningan dengan berkata, "Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat."

Menurutnya peci memiliki sifat khas, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyatnya. Walaupun istilahnya berasal dari penjajah yakni Belanda. Ia pun berkata, "Marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka."

Pesan yang cukup banyak dapat kita ambil. Pertama, jadilah diri sendiri. Kedua, jangan takut dengan pilihan kita. Ketiga, hadapi keputusan yang telah kita ambil. Setiap orang memiliki jalan yang berbeda jangan terus mengekor pada sesuatu yang kau anggap benar. Karena kebenaran hanya milik-Nya. Kemerdekaan dirimu hanya kaulah yang tahu. Tetapi, setidaknya berjuang untuk kemerdekaan bersama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekonomi Kreatif, Lestarikan Budaya

Disbudpar Kota Blitar, Stakeholder, Batik Mawar Putih  Kita tidak asing lagi dengan kosakata ekonomi kreatif dan pelestarian budaya. Tingkatan pemerintah daerah mendorong program tersebut. Bagaimana tidak? Fasilitas berbagai agenda kebudayaan telah ada di Kota Blitar. Apalagi menjelang bulan pertengahan hingga akhir tahun, selalu disemarakkan dengan festival. Kali ini Zulfa Ilma Nuriana hadir bersama Ikla Harmoa dalam sarasehan stakeholder yang diselenggarakan oleh Disbudpar Kota Blitar. Mereka sebagai perwakilan Forum Lingkar Pena Blitar. Keseruan mengikuti agenda ini terwujud dalam sesi tanya jawab yang diawali dengan promosi company. Selain itu, usai agenda pun bisa berbincang dengan narasumber maupun yang lain. Agenda ini lebih hidup karena ada sesi belajar.  Sesi belajar atau umumnya dikatakan seminar ini bertajuk Strategi Industri Kreatif Lokal Menembus Pasar Global. Pematerinya ialah sepasang suami istri bernama Yogi Rosdianta dan Santika Mawar dari Batik Mawar Putih. Materi yan

Kereta Lagi, Kereta Terus

Pengambilan Foto di jalan Sultan Ahmed, Istanbul  Perjalanan pada Januari 2020 lalu begitu berkesan. Karena banyak hal yang dapat Zulfa eksplor di Türkiye, khususnya daerah Istanbul. Berbekal jiwa nekad dan ridho orang tua, Zulfa memberanikan diri untuk mengikuti agenda Konferensi Tingkat Tinggi. Bonusnya ia bisa extend 6 hari di Istanbul. Enaknya di kota ini kita kemana-mana dengan kereta. Ada kereta di jalan raya dan bawah tanah. Pemanfaatannya juga gampang yang penting punya saldo di Istanbul Card. Cukup padat transportasi umum dan pribadi. Karena selama di sini, Zulfa selalu menjumpai kendaraan. Tapi itu ada di jalan raya.  Jalan-jalan kecil hanya ada kendaraan pribadi. Bedanya budaya antri di Istanbul dan Blitar itu begitu kontras. Ketika Zulfa antri, ia hanya melihat sedikit tempat duduk untuk menunggu. Cukup kaget juga, ternyata lebih banyak antri berdiri dan tinggal masuk daripada duduk di kursi tunggu. Kala itu ia sempat berpikir, "Gercep amat orang-orang masuk ke kereta

Perburuan Tiket Konferensi di Türkiye

Zulfa Ilma Nuriana dalam Koran Jawa Pos tahun 2020 Tiket pesawat yang bikin jantung up and down . Belinya aja tiga hari sebelum tanggal keberangkatan. Hubungin banyak orang di tengah malam. Gak tahu gimana proses belinya. Jalan kepepet kulalui yakni beli pada agen tiket. Awalnya dapat tiket yang perlu transit. Tapi tiket tersebut terdahului oleh yang lain, aku pun dicarikan lagi. Syukur sekali aku justru dapat tiket yang pulang pergi tanpa transit dengan maskapai Turkish Airlines.  Perjalanannya pun juga tak singkat. Hampir 12 jam di dalam pesawat Turkish Airlines. Namun tak melelahkan karena fasilitasnya begitu baik. Kunikmati dengan mendengar murotal, lagu, mengamati langit, tidur, makan, ibadah, dan menonton film pada monitor atau TV kecil. Mau menyicil penelitian, tapi tak bisa karena melihat layar laptop bikin pusing. Sempat terjadi turbulence yang cukup lama. Alhamdulillah tidak begitu terasa guncangannya meski panik juga di awal.  Perjalanan menuju konferensi Istanbul Youth Sum