Langsung ke konten utama

Suara Seni di Tengah Pandemi


Yogyakarta memberikan arti seni yang sesungguhnya. Apresiasi tinggi terhadap seni telah bergaung lama. Saya pun membuktikan kebenaran cerita dan berbagai berita tentang Jogja. Pertama kali saya ke Jogja tanggal 2 Juni 2018 bertujuan menimba ilmu seni.

Kekaguman terhadap daerah ini terus mewarnai diri. Benar adanya seni terremajakan di sini. Dalam perjalanan menuju rumah Maestro Djokopekik, mata terus menyoroti karya seni di pinggir jalan. Tembok-tembok dipenuhi mural yang unik dan menarik. Suguhan yang jarang saya temui di daerah lain.

Suatu waktu saya berkesempatan untuk membuat sketsa di Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTY). Tak sendiri karena bersama teman-teman pelajar yang terpilih dari berbagai sekolah di Indonesia. Kami pun langsung bergegas mencari objek untuk disket.

Rasa ragu-ragu mulai menyelimuti diri saya. Tetapi, melihat semangat teman-teman, saya pun melawan rasa itu. Mulailah saya membuat sket di daerah pintu masuk pasar ini.

Momen yang ditangkap harus memberi kesan tersendiri. Sulit rasanya untuk menangkap momen itu. Objek yang bergerak membuat memori bekerja lebih keras. Ingatan dan rasa perlu dikembangkan. Supaya tangan mampu menorehkan tinta hitam pada secarik kertas putih.

Berpindah-pindah lokasi sering saya lakukan. Walaupun momen bagus sering terlewatkan meski saya telah lama menatap dan mengamati. Karena kembali lagi tadi pada ingatan dan rasa. Saya melihat objek-objek yang ada itu sangat bagus tetapi ingatan tidak mendukung untuk harus menangkap momen yang terlalu cepat.

Sampai di suatu ketika saya mendapati bapak penjual bakso duduk di bawah pohon. Saya hampiri beliau dan sedikit bercakap-cakap. Tak sungkan saya duduk di tengah jalan. Supaya dapat momen yang tepat. Tantangan datang bertubi-tubi. Bukan saja orang yang berseliweran tetapi juga pertanyaan terus menyerbu saya. Mereka mengira saya berasal dari salah satu kampus seni yang ada di Jogja. Selesai membuat sket saya berpindah lagi.

Saya temui anak dan Ibu yang sedang beristirahat di emperan toko. Tampak lesu dan menunggu sesuatu. Karena saya suka bersosialisasi, pembicaraan pun cepat terbangun. Sedikit untuk merilekskan diri karena belum ada objek yang tepat. Pembicaraan singkat berujung curhat.

Ternyata anaknya berasal dari jurusan desain interior di salah satu SMK seni yang terkenal di Jogja. Anaknya ingin melanjutkan ke dunia seni tetapi Ibunya masih bingung untuk mendaftarkan di kampus yang dekat dengan rumah apa yang jauh. Harapannya anaknya bisa mendapat beasiswa dari pemerintah supaya bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Di ujung cerita dari Ibu tersebut, mata saya beralih pada suatu bapak tukang parkir. Bapak tukang parkir tampak sedang beristirahat dengan menyandar di sebuah mobil. Saya coba menyeketnya. Tetapi, hasilnya gagal lagi dan lagi.

Rasa lelah pun malah bertambah. Karena gagal menyeket. Hal ini membuat saya haus. Sehingga memaksa diri yang letih untuk berjalan mencari penjual es.

Tidak jauh dari lokasi saya menjumpai seorang Ibu penjual es. Mulanya tidak berniat untuk membuat sketsa lagi. Karena sudah lelah kesana kemari. Namun, setelah saya membeli es dan menghabiskannya. Saya melihat obrok Ibu yang berada di dekat tanaman. Kebersihan tempat es nya memang kurang, tetapi obrok tersebut memiliki keunikan tersendiri. Obrok tampak usang  bukan hanya unik tetapi memberikan kesan beda dibandingakan objek-objek sebelumnya yang sudah saya sket.

Tak berpikir panjang. Saya pun bergegas untuk menyeketnya. Ternyata tidak membutuhkan waktu yang lama, saya dapat menyelesaikanya. Ibu di sebelah saya tampak bingung. Lantas setelah selesai menyeket, saya menjelaskan tujuan awal ke PASTY. Ibu pun menanggapi dengan antusias. Beliau sosok yang ramah, menghargai, dan punya semangat tinggi. Walaupun dagangannya tidak begitu laku. Ia tetap berjualan dengan menuntun obroknya. Tak salah dugaan saya bahwa sketsa terakhir ini yang disukai oleh Maestro saya.

Seni mengajarkan saya tentang makna sebuah rasa. Cipta karya tidak sekedar menorehkan tinta. Harus ada ketulusan, kejujuran, dan keuletan dalam jiwa ketika membuatnya. Rasa menghargai objek pun juga harus ditumbuhkan. Tanpa itu, kedekatan dan kedalaman pesan dari sebuah karya tidak akan muncul. Persoalan ini tidak sekedar logika yang mampu mendiskreditkan sebuah momen dan karya. Tetapi, jauh lebih dalam yakni rasa dan karsa dalam mencipta.

loading...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekonomi Kreatif, Lestarikan Budaya

Disbudpar Kota Blitar, Stakeholder, Batik Mawar Putih  Kita tidak asing lagi dengan kosakata ekonomi kreatif dan pelestarian budaya. Tingkatan pemerintah daerah mendorong program tersebut. Bagaimana tidak? Fasilitas berbagai agenda kebudayaan telah ada di Kota Blitar. Apalagi menjelang bulan pertengahan hingga akhir tahun, selalu disemarakkan dengan festival. Kali ini Zulfa Ilma Nuriana hadir bersama Ikla Harmoa dalam sarasehan stakeholder yang diselenggarakan oleh Disbudpar Kota Blitar. Mereka sebagai perwakilan Forum Lingkar Pena Blitar. Keseruan mengikuti agenda ini terwujud dalam sesi tanya jawab yang diawali dengan promosi company. Selain itu, usai agenda pun bisa berbincang dengan narasumber maupun yang lain. Agenda ini lebih hidup karena ada sesi belajar.  Sesi belajar atau umumnya dikatakan seminar ini bertajuk Strategi Industri Kreatif Lokal Menembus Pasar Global. Pematerinya ialah sepasang suami istri bernama Yogi Rosdianta dan Santika Mawar dari Batik Mawar Putih. Materi yan

Kereta Lagi, Kereta Terus

Pengambilan Foto di jalan Sultan Ahmed, Istanbul  Perjalanan pada Januari 2020 lalu begitu berkesan. Karena banyak hal yang dapat Zulfa eksplor di Türkiye, khususnya daerah Istanbul. Berbekal jiwa nekad dan ridho orang tua, Zulfa memberanikan diri untuk mengikuti agenda Konferensi Tingkat Tinggi. Bonusnya ia bisa extend 6 hari di Istanbul. Enaknya di kota ini kita kemana-mana dengan kereta. Ada kereta di jalan raya dan bawah tanah. Pemanfaatannya juga gampang yang penting punya saldo di Istanbul Card. Cukup padat transportasi umum dan pribadi. Karena selama di sini, Zulfa selalu menjumpai kendaraan. Tapi itu ada di jalan raya.  Jalan-jalan kecil hanya ada kendaraan pribadi. Bedanya budaya antri di Istanbul dan Blitar itu begitu kontras. Ketika Zulfa antri, ia hanya melihat sedikit tempat duduk untuk menunggu. Cukup kaget juga, ternyata lebih banyak antri berdiri dan tinggal masuk daripada duduk di kursi tunggu. Kala itu ia sempat berpikir, "Gercep amat orang-orang masuk ke kereta

Perburuan Tiket Konferensi di Türkiye

Zulfa Ilma Nuriana dalam Koran Jawa Pos tahun 2020 Tiket pesawat yang bikin jantung up and down . Belinya aja tiga hari sebelum tanggal keberangkatan. Hubungin banyak orang di tengah malam. Gak tahu gimana proses belinya. Jalan kepepet kulalui yakni beli pada agen tiket. Awalnya dapat tiket yang perlu transit. Tapi tiket tersebut terdahului oleh yang lain, aku pun dicarikan lagi. Syukur sekali aku justru dapat tiket yang pulang pergi tanpa transit dengan maskapai Turkish Airlines.  Perjalanannya pun juga tak singkat. Hampir 12 jam di dalam pesawat Turkish Airlines. Namun tak melelahkan karena fasilitasnya begitu baik. Kunikmati dengan mendengar murotal, lagu, mengamati langit, tidur, makan, ibadah, dan menonton film pada monitor atau TV kecil. Mau menyicil penelitian, tapi tak bisa karena melihat layar laptop bikin pusing. Sempat terjadi turbulence yang cukup lama. Alhamdulillah tidak begitu terasa guncangannya meski panik juga di awal.  Perjalanan menuju konferensi Istanbul Youth Sum