Langsung ke konten utama

Tepat 2 Tahun yang Lalu

Indahnya Kasih Sayang


“Ibu, aku pulang.”


Tidak ada jawaban


Dengan rasa senang kuberlari menuju ruang tamu, di mana Ibu biasa bercengkerama denganku. Ruangan tampak sepi dan kosong. Aku mencari ke setiap sudut rumah, namun tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Hanya ada selembar kertas yang ada di atas meja ruang tamu. Ternyata itu adalah surat untukku.


-Untuk Adek-


Adek, maaf Ibu tidak bisa menemani liburanmu. Saat ini, Ibu berada di kota menjenguk Ayahmu. Kira-kira satu Minggu Ibu meninggalkanmu. Tetapi jangan khawatir dek, selama satu Minggu ini adek di rumah akan ada yang menemani. Ada seorang anak kota yang akan tinggal di rumah kita. Dia ingin merasakan sejuknya desa. Semoga adek bisa lebih akrab dengannya ya. 


-Ibu- 


“Kenapa selalu di saat aku pulang, Ibu nggak ada di rumah. Menyebalkan.” Aku menggerutu tak jelas. 

Jilbab, tas, jam tangan, dan segala asesoris yang memberatkan diri ini aku lepaskan. Dan segera aku menuju kamar untuk meremajakan tubuh yang letih ini. 

“Enak sekali bisa memandang hijaunya rumput desa dan sejuknya udara.”


***

Matahari mulai menampakkan dirinya. Cakrawala mulai menguning, membuat hari yang biasa menjadi luar biasa. Burung-burung berkicauan, pagi yang sangat riuh oleh suara-suara hewan. Embun yang tadi membulat di dedaunan kinipun telah terjatuh dan membasahi tanah yang berhumus. Semalaman hujan mengguyur desa ku. Dingin rasanya. Namun rupanya mata ini sulit untuk membuka lebar. Diri ini masih ingin bermanjaan dengan kasur yang empuk dan selimut yang hangat. Sebentar, ada yang beda pagi ini. Aku mencium aroma sedap dari arah dapur. Baunya seperti masakan Ibu.

“Wah, enak sekali aromanya.” Dalam batinku kuberkata. Dan hati ini tiba-tiba berbunga-bunga.

“Ah tidak mungkin kalau ini masakan Ibu. Ibu kan tidak di rumah. Pasti ini bayanganku saja.” Aku masih bingung.


Sreng sreng sreng...


Segera kulangkahkan sepasang kaki mungil dan kubawa tubuh kecil ini ke dapur. Est, tidak lupa kupakai jilbab. Sesampainya di dapur, ternyata ada sosok yang tidak asing bagiku. Seperti teman kampusku. Tapi, tidak mungkin itu dia. Dia kan tidak bisa memasak. Setiap hari saja pergi ke kantin untuk membeli makanan. Aku masih ragu mau mendekatinya. Pasti itu bukan Rama. Oh iya, pasti itu orang yang dimaksud Ibu di pesan kemarin. Tapi, tetap saja aku malu untuk memanggilnya. Lagi pula, aku juga belum tahu namanya.

“Kenapa kamu berdiri saja di situ? Bantuin memasak sini Din, ini kan makanan kesukaanmu.” Pria berpawakan seperti polisi itu memecahkan keheningan di dapur. Sedangkan aku masih pada posisi yang sama. Bingung harus berbuat apa. Siapa sih, kok tahu namaku. Kenalan saja belum. Tanpa berpikir panjang aku mulai mendekatinya.

“Hai, aku Dini.” Sedikit sku berkata untuk memberitahukan nama lengkapku. Ya walau tadi dia sudah memanggilku.

“Masih sempat ya basa basi. Ayolah bantuin.”

“Iya, iya.” Aku masih belum mengetahui wajah jelasnya. Karena mata ini masih belum bisa mengondisikan setelah tidur kelamaan.


Brak 


Aku dan dia bertabrakan. Hampir saja minyak panas yang ada di dekatnya tumpah di tanganku. Jika terjadi ah tahu sendirilah kalian bagaimana rasanya. Namun, sebuah rantang yang berisi bumbu terjatuh mengenai kakinya. Ya karena dia pria yang tangguh, pasti tidaklah keluar kata ‘aduh’.

“Eh, loh, kamu. Beneran ini kamu? Kenapa di rumahku dan siapa yang mengizinkanmu masuk. Pintu depan saja aku kunci.” Alis tebal ini menyerngit.

“Kenapa kaget, biasa saja kali. Ini kan juga tempat tinggalku. Aku juga punya kunci yang sama. Sehingga aku bisa masuk dan berada di dapur klasik ini.”

“Tempat tinggalmu? Nggak salah? Aku saja sudah bertahun-tahun tinggal di rumah ini tidak pernah melihatmu.” Aku masih belum percaya dengan alasannya.

“Nanti sajalah aku jelaskan. Kalau sekarang, masakannya nggak akan jadi.” Timpalnya sambil menata dua piring untuk wadah makan kami.

“Oke oke. Jelasin sejelas-jelasnya, biar aku paham.”

“Oh iya kamu kan anaknya lemot.”

“Dasar, nggak di kampus nggak di sini suka ngatain orang.”


***

Beralih dari dapur, di tempat makan pun kami masih berdebat tidak jelas apa yang diperdebatkan. Hehe, maklum saja anak jurusan sosial politik. Tanpa berdebat semenit saja, hidup akan terasa hampa. Bagai masakan tanpa garam. Sebenarnya, dia itu musuhku di kampus. Suka tebar pesona ke setiap perempuan di kampus dan egois. Iya sih dia cakep dan pinter. Tapi aku tetap nggak suka dengannya. 

“Hei! Melamun saja kau ini, keburu dingin tuh sopnya. Segera dimakanlah Din.”

“Ha? Apa? Iya iya.”

Berdua di meja makan bersama orang yang paling aku benci, terasa mimpi buruk namun ini asli. Tidak sadar mata ini tertuju pada mata sipitnya. Sampai-sampai sambal trasi yang kuambil kebanyakan. Dan lagi-lagi aku ketahuan olehnya. Dia ketawa tanpa henti di meja makan yang berbentuk bulat dan terbuat dari kayu. Aku hanya bisa diam dan kulanjutkan makan. Biarkan Rama menghabiskan makanannya duluan. Itu memang siasatku agar tidak semeja kala menyantap makanan kesukaanku. Alhamdulillah, si bawel sudah pergi. Sungguh nikmat bisa makan makanan yang aku sukai. Karena di kampus nggak ada yang menjual sop buntut ini. Nggak papalah kalau bukan Ibu yang membuatkan masakan ini. Rasanya juga sama saja. Jangan-jangan dia berguru sama Ibu dan Ibu nggak memberitahuku. Ada apa sih diantara mereka berdua. Dan bagaimana bisa Ibu mengenalnya. Rama kan belum pernah aku ceritakan dan kenalkan ke Ibu. Sungguh aneh.

“Ram, sudah selesai nyuci piringnya?”

“Sudahlah Din, emangnya kenapa?”

“Jalan-jalan yuk, sudah lama nggak ke bukit atau ke kebun teh.”

“Ke air terjun aja, nanti kalau sudah baru ke kebun teh. Biar dapet sun shet.”

“Oke deh.”

“Bentar, bentar ngajakin jalan? Emangnya tadi udah mandi?”

“Ohh iya, belum.”

“Pantes saja baunya sampai dapur. Hiii.”

“Kayak kamu udah mandi saja.”

“Aku mah sudah dari tadi. Sebelum kamu bangun dari tidur nyenyakmu itu.”

“Iya, iya, bawel amat sih.”

“Biarin. Sudah selesai apa belum makannya?”

“Udah dari tadi.”

“Lah, ya bawa sinilah di cuci sekalian.”

“Iya, iya Rama bawel.”

Kutaruh piringku di dapur, lalu ke kamar mengambil baju dan handuk.


***

Di luar rumah sudah banyak anak-anak desa bermain singkongan. Mereka sangat senang dengan memperlihatkan tawanya yang lepas. Melihat anak-anak itu, jadi nggak ingin jalan-jalan. Ramai anak-anak karena di desaku saat ini sudah banyak rumah walaupun tak semewah di kota. Di sini lebih damai dan menengkan jiwa. Halam rumah tampak hijau dan nggak ada daun-daun yang layu. Bunga-bunga kopi bermekaran layaknya bunga sakura. Hehe, nggak sama sih ya. Tapi itu bunga sakura di desaku. Aromanya sangat harum di setiap paginya. Melihat anak-anak sembari duduk di depan rumah itu menyenangkan. Tapi tidak sekarang ini, karena si bawel datang.

“Udah wangi aja si mungil.”

“Apaan sih wel bawel, kan udah mandi.”

“Iya, iya. Biru lagi jilbabmu ngil.”

“Biarin wel, yang penting kan beda dari yang kemarin.”

“Hmm, oke. Liatin apaan serius amat?”

“Tuh anak kecil yang lagi bermain sama teman-temannya.”

“Kamu kan kecil daripada ngelihatin saja, ikutan dong.”

“Hizzz...”


Tiba-tiba ponsel yang dari tadi sunyi mengeluarkan bunyi. Ternyata Ibu telepon.

“Assalamualaikum bu.”

“Waalaikumsalam, bagaimana liburannya? Sudah ada teman kan dek?”

“Hmm, sudah sih bu.”

“Kenapa hmm aja?”

“Dia itu teman kampusku bu.”

“Wah, kebetulan dong ya. Jadi tambah akrab, Ibu kira kamu belum mengenalnya.”

“Iya akrab, seperti kucing dan tikus.”

“Haduh, emang ya remaja jaman sekarang.”

“Sudah ya bu, aku mau lanjutin liburanku sama si bawellll. Ass...”

Telepon terputus 


“Emang ya sinyal di desa tidak bersahabat.”

“Iya ngil.”

“Siapa juga yang ngajak bicara, nyamber aja.”

“Sekali saja nggak jutek nggak bisa ya?”

“Udah bawaan dari lahir.”

Tiba-tiba sebuah alat buat main singkongan pun melayang ke kepalaku. Rasanya sakit sekali, dengan reflek aku mengaduh. Dan si bawel pun bukannya cari obat malah berkicau. Sebel banget dah. Ini anak nggak peka amat sih.


***

Senja pun datang. Siluet dari tubuh kekarnya terlihat jelas. Rama sedang menatap langit, entah apa yang dipikirkannya. Tapi jelasnya dia seperti orang yang punya banyak masalah. Dan mungkin karena itu juga dia meminta tolong ke Ibu kemudian Ibu memberi solusi untuk permasalahannya itu dengan menyuruhnya pergi ke desa untuk menenangkan dirinya. Ibuku adalah seorang psikolog lulusan Universitas Gadjah Mada, kaena itulah dia memberi jasanya ke Rama. Nah, berarti Rama adalah pasien Ibu dong kalau benar seperti itu. Eh tapi ini kan Cuma pikiranku saja. Bisa benar dan bisa salah.

“Kenapa kamu mengamatiku?”

“E-ee nggak papa.” Hihh ketahuan lagi.

“Ohh, oke.”

“Hmm, Ram. Boleh tanya nggak?”

“Apa?”

“Alasanmu berlibur ke desa dan ke rumah ini apa?”

“Maaf, masih belum bisa menjelaskan. Suatu saat nanti kamu akan mengerti.”

Apalah dayaku dengan jawaban seperti itu. Apalagi di tambah dengan wajah yang melas. Kualihkan pembicaraan kami.

“Ram, tadi pagi katanya ke bukit lihat sun shet. Sekarang aja ke sana.”

“Jangan, bahaya. Ini sudah mau malam. Terlambat kamu ngingetinnya.”

“Yahh, aku kan juga lupa.”

“Besok kan bisa, masih ada lima hari liburnya.”

“Iya, iya deh.”

“Besok sebelum ke bukit pergi ke rumah baca di desa sebelah dulu ya.”

“Mau ngapain?”

“Mau tidur.”

“Kalau tidur di rumah saja kan bisa Ram.”

“Ya, baca bukulah, ada ada juga sih pertanyaanmu.”

“Hehe iya ya.”

Aku mulai akrab dengannya. Padahal masih satu hari bersamanya. Dia seperti kakak yang lama nggak bersama adeknya.

Adzan magrib sudah berkumandang tertanda tiba waktu sholat. Rama mengajakku sholat ke mushola terdekat dari rumah. Aku segera mengiyakan ajakannya. Kami pun berangkat jalan kaki dengan berdampingan. Banyak warga yang memandang ke arah kami. Dengan spontan aku menjauhi Rama yang ada di sampingku. Dia pun tahu maksudku. Selesai dari sholat magrib kami berdua segera pulang karena sudah larut malam. Sampailah kami di jalan dekat rumah. Namun, di sana tampak ada lima pria yang seperti menunggu kedatangan kami. Mereka menatap ke arah kami. Mata bak anjing melihat daging. Aku berlindung di belakang Rama. Langkah kaki pun terhenti sejenak.

“Ram, mereka itu siapa?”

“Aku juga nggak tau. Tapi tampak dari tatapannya kalau mereka adalah orang jahat.”

“Bentar bentar, bukannya itu pengawalmu?”

“Eh iya, itu pengawalku. Kenapa mereka ke sini. Pasti disuruh Ayah.”

“Emangnya kamu ada masalah sama Ayahmu?”

Rama tidak menjawab. Dan segera menghampiri pengawalnya itu. Tiba-tiba mereka menyeret Rama. Tetapi dia memberontak dan akhirnya terjadi perkelahian. Aku segera mencari sesuatu yang dapat membantunya. Kudapati sepotong kayu besar dan langsung kupukul pengawal-pengawalnya. Lima pengawal itu pun pergi dengan membawa mobil hitam milik Ayahnya Rama.

“Alhamdulillah, udah pergi. Ram? Kamu nggak papa?”

“Iya. Aku obati ya lukamu.”

“Iya.”

Setelah aku mengobatinya, kami pun berbincang-bincang dan nggak terasa sudah jam 12 malam. Dan Rama tertidur di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Aku pun meninggalkannya di sana. Kuambilkan selimut dari almari dan kubalutkan di tubuhnya.


***

“Bos, Tuan Rama tidak mau ikut pulang bersama kami.” Salah satu pengawal mengadu.

“Kok bisa nggak mau? Nggak becus kalian ini.sudah-sudah kalian kerja lagi sana. Saya sendiri yang akan mengajaknya pulang.”

Ayah Rama adalah seorang investor terkenal di Jakarta. Ia sering pulang larut malam dan bisa juga tidak pulang. Rumahnya mewah seperti istana. Semua kebutuhan Rama pun tercukupi. Namun, dia hanya memiliki seorang Ayah. Mamanya telah meninggal setelah dia lahir. Rama adalah anak yang sopan, ceria, tapi egois. 


***

“Kasihan Rama, padahal dia kan anaknya tertib nggak suka melanggar peraturannya. Tapi kok bisa Ayahnya seperti itu kepadanya.”

Ah sudahlah itu kehidupannya, aku nggak mau ikut campur dengan keluarganya. Karena aku belum tahu masalah yang dia alami saat ini. Di kampus pun Rama terlihat damai-damai saja.


***

“Selamat pagi mungil.”

“Kenapa wel, kamu sudah di depan pintu kamarku saja.”

“Hahaha, sudah lah. Btw, makasih ya selimutnya tadi malam. Cepat bagun udang siang ini.”

“Iya, iya bawel. Ini masih rapiin tempat tidur.”

Hari ini kami akan pergi ke rumah baca di desa sebelah. Karena sarana dan prasarananya lebih lengkap serta sangat menunjang anak-anak dalam peningkatan minat baca. Haripun semakin panas. Kami masih berada di rumah. Setelah tahu bahwa hari mulai siang, kami pun beranjak ke rumah baca. Sesampainya di rumah baca, aku dan Rama segera mengambil tempat. Di sini kami bisa merasakan rindangnya pemandangan desa dan damainya kehidupan warga. Tempat kursi yang berasal dari bambu dan hiasan berupa bunga-bunga yang asri menghilangkan penat di hati. Lalu, kami mengambil buku-buku yang ada di rak depan dan lanjut untuk membacanya. Waktu berlalu begitu cepat. Aku merasa sudah saatnya pulang dan tidak melanjutkan ke bukit karena aku sudah lelah. 

“Ram, yuk kita pulang. Lihat langitnya sudah mulai memerah tuh.”

“Wah, iya iya.”

Buku-buku kami kembalikan ke tempatnya. Kami pun pulang, berjalan bersama dan bercanda tawa. Hampir sampai di depan rumah, aku dan Rama melihat kedua orang yang saling berseteru. Dan ternyata itu Ibu dan Ayah Rama. 

“Kamu itu ya seenaknya sendiri menuduh anakku!” Ibuku berteriak ke Ayah Rama.

“Memang anakmu itu yang meracuni otak Rama untuk tinggal di rumah ini.”

“Dasar orang tua nggak tahu diri. Rama seperti ini, karena kamu sendiri. Dia merasa tidak kamu beri kasih sayang dan hanya kamu beri harta ataupun materi. Rama hanya menginginkan waktu luang bersamamu.”

“Ya ya ya. Aku memang tidak pernah pulang tepat waktu. Tapi aku masih bisa mencukupi dia. Lebih dan lebih.” Ayah Rama masih mengelak.

“Ya boleh kamu bilang seperti itu dan anakmu sekarang ada di sana. Tanyakan saja kepadanya.” Ibu menunjuk ke arah kami. Mereka berdua menyuruh kami mendekat.

“Apakah benar yang dikatakan oleh Ibu Dini?”

“Iya, sangat benar Yah. Ayah tidak pernah mau tahu kondisiku, sekolahku dan kegiatan yang lainnya.”

Ayah Rama menunduk dan bungkam. Tidak mengeluarkan kata satupun.

“Kenapa Ayah diam? Malu denganku yang berubah seperti ini? Atau malu dengan diri Ayah sendiri?”

“Maaf. Ayah bukan bermaksud seperti itu kepadamu. Ayo kita pulang dan Aah berjanji akan berubah.”

“Ayah, bukannya Rama tidak mau. Tapi Rama sudah berjanji kepada Ibu Dini untuk menemani Dini selama libur kampus ini.

“Ohh, seperti itu. Bagaimana kamu bisa tahu alamat mereka? Sedangkan Ayah tidak pernah cerita ke Rama tentang mereka.”

“Iya, tapi aku tahunya juga kebetulan. Karena menemukan sebuah berkasnya Ayah di laci kamarku. Mungkin Ayah lupa meletakkan dan akhirnya aku membaca semuanya. Lalu menemukan nomor Ibunya Dini dan alamt rumahnya. Namun, yang aku ketahui itu tidak kuceritakan ke Ayah. Karena Ayah juga tidak pernah ada waktu bersamaku. Jadi, aku bercerita ke Ibu Dini tentang masalah yang aku alami dan ia memberi solusi untuk tinggal di rumahnya sekaligus menemani anaknya. Dan ternyata anaknya adalah teman kampusku.”

“Maaf. Ayah akan berusaha untuk berubah.”

Aku angkat bicara “Ram, lebih baik kamu pulang bersama Ayahmu. Nggak ada masalah kalau aku berlibur sendiri.”

“Tapi...”

“Tidak masalah le , Ibu ada bersama Dini. Selagi ada waktu bersama Ayahmu kenapa tidak kamu beri kesempatan kepadanya. Kini Ayahmu juga telah menyadari kesalahannya.”

“Karena ini permintaan dari Ibu. Oke, Rama akan pulang. Tapi, sebelum aku pulang. Bolehkah aku memeluk Ibu?”

“Sangat boleh le.” 

Ibu dan Rama berpelukan sangat lama dan mereka saling meneteskan air mata. Aku hanya terdiam dan tidak ingin merusak suasana ini.

“Terima kasih Ibu Dini telah menyadarkan saya dan anak saya. Mohon maaf atas perkataan saya yang tidak menghargai Ibu dan anak Ibu tadi.”

“Iya tidak apa-apa.” Ibu tersenyum.

Rama pun pulang bersama Ayahnya. Aku sangat senang dengan keputusannya itu. Ternyata dia bukanlah anak yang egois. Aku pun masuk rumah bersama Ibu. Walaupun tidak ada ucapan terakhir darinya, aku tetap menyayanginya. 

“Buk, kok bisa pulang lebih cepat dari yang Ibu pesan kan ke aku?”

“Iya dek, Ibu tahu kalau adek akan kecewa jika Ibu pergi lama. Jadi Ibu pun memutuskan pulang dan menemanimu selama libur kampus.”

“Wah, terima kasih buk. Aku sayang sama Ibu. Dan Dini minta maaf karena telah berpikiran negatif kepada Ibu.”

“Iya dek. Ibu lebih sayang adek.”

Liburanku akan terwarnai karena Ibu bersamaku.

Cerpen Terpilih yang dimuat di Penakota.id
https://penakota.id/penulis/ZulfaDE/2596/indahnya-kasih-sayang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekonomi Kreatif, Lestarikan Budaya

Disbudpar Kota Blitar, Stakeholder, Batik Mawar Putih  Kita tidak asing lagi dengan kosakata ekonomi kreatif dan pelestarian budaya. Tingkatan pemerintah daerah mendorong program tersebut. Bagaimana tidak? Fasilitas berbagai agenda kebudayaan telah ada di Kota Blitar. Apalagi menjelang bulan pertengahan hingga akhir tahun, selalu disemarakkan dengan festival. Kali ini Zulfa Ilma Nuriana hadir bersama Ikla Harmoa dalam sarasehan stakeholder yang diselenggarakan oleh Disbudpar Kota Blitar. Mereka sebagai perwakilan Forum Lingkar Pena Blitar. Keseruan mengikuti agenda ini terwujud dalam sesi tanya jawab yang diawali dengan promosi company. Selain itu, usai agenda pun bisa berbincang dengan narasumber maupun yang lain. Agenda ini lebih hidup karena ada sesi belajar.  Sesi belajar atau umumnya dikatakan seminar ini bertajuk Strategi Industri Kreatif Lokal Menembus Pasar Global. Pematerinya ialah sepasang suami istri bernama Yogi Rosdianta dan Santika Mawar dari Batik Mawar Putih. Materi yan

Kereta Lagi, Kereta Terus

Pengambilan Foto di jalan Sultan Ahmed, Istanbul  Perjalanan pada Januari 2020 lalu begitu berkesan. Karena banyak hal yang dapat Zulfa eksplor di Türkiye, khususnya daerah Istanbul. Berbekal jiwa nekad dan ridho orang tua, Zulfa memberanikan diri untuk mengikuti agenda Konferensi Tingkat Tinggi. Bonusnya ia bisa extend 6 hari di Istanbul. Enaknya di kota ini kita kemana-mana dengan kereta. Ada kereta di jalan raya dan bawah tanah. Pemanfaatannya juga gampang yang penting punya saldo di Istanbul Card. Cukup padat transportasi umum dan pribadi. Karena selama di sini, Zulfa selalu menjumpai kendaraan. Tapi itu ada di jalan raya.  Jalan-jalan kecil hanya ada kendaraan pribadi. Bedanya budaya antri di Istanbul dan Blitar itu begitu kontras. Ketika Zulfa antri, ia hanya melihat sedikit tempat duduk untuk menunggu. Cukup kaget juga, ternyata lebih banyak antri berdiri dan tinggal masuk daripada duduk di kursi tunggu. Kala itu ia sempat berpikir, "Gercep amat orang-orang masuk ke kereta

Perburuan Tiket Konferensi di Türkiye

Zulfa Ilma Nuriana dalam Koran Jawa Pos tahun 2020 Tiket pesawat yang bikin jantung up and down . Belinya aja tiga hari sebelum tanggal keberangkatan. Hubungin banyak orang di tengah malam. Gak tahu gimana proses belinya. Jalan kepepet kulalui yakni beli pada agen tiket. Awalnya dapat tiket yang perlu transit. Tapi tiket tersebut terdahului oleh yang lain, aku pun dicarikan lagi. Syukur sekali aku justru dapat tiket yang pulang pergi tanpa transit dengan maskapai Turkish Airlines.  Perjalanannya pun juga tak singkat. Hampir 12 jam di dalam pesawat Turkish Airlines. Namun tak melelahkan karena fasilitasnya begitu baik. Kunikmati dengan mendengar murotal, lagu, mengamati langit, tidur, makan, ibadah, dan menonton film pada monitor atau TV kecil. Mau menyicil penelitian, tapi tak bisa karena melihat layar laptop bikin pusing. Sempat terjadi turbulence yang cukup lama. Alhamdulillah tidak begitu terasa guncangannya meski panik juga di awal.  Perjalanan menuju konferensi Istanbul Youth Sum