Langsung ke konten utama

Cerita di Balik Pandemi


Pandemi yang melanda berbagai negara telah membelenggu cukup lama. Akhirnya terdengar berbagai kabar sudah ada negara-negara yang melonggarkan aktifitas di luar rumah walau hanya beberapa jam.

Indonesia memang tidak memberlakukan lockdown total. Tapi, memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di beberapa wilayah. Perekonomian pun perlahan menurun. Banyak pedagang yang menutup tokonya. Ojek yang tidak bisa lagi membawa penumpang.

Berbagai hal berubah karena pandemi. Ramadan pun berbeda tidak seperti Ramadan sebelumnya. Kita dianjurkan untuk beribadah di rumah. Tetapi, hal ini jangan membuat lemas dan menyusut semangat kita dalam menambah amalan-amalan di bulan Ramadan.

Sebelum bulan Ramadan tiba, saya bersama dengan keponakan ikut berupaya untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Saya sebagai Relawan dari Madrasah Relawan menginisiasi pembagian masker di daerah tempat tinggal saya.

Tindakan kecil ini harapannya bisa bermanfaat. Saya tidak mengajak banyak orang dikarenakan masker tak begitu banyak. Serta, mengaktualisasikan sosial distanching. Jadi, cukup dengan saya mengajak keponakan.

Berdua menggunakan motor, kami menyusuri jalan di daerah pusat kegiatan. Tetapi, faktanya ketika kami melewati jalanan ini sangat sedikit pedagang maupun pengemudi. Hampir semua toko tutup.

Perjalanan berlangsung cukup lama. Dalam hati saya berkata "ingin membagikan masker saja tapi tidak ada orang." Lantas saya pun berpikir sungguh rugi diri ini ketika ada orang yang meminta-minta tidak saya beri.

Sembari menghilangkan kebosanan, saya menyuruh keponakan saya untuk memfoto spanduk melawan Covid-19 di setiap masuk daerah yang berbeda. Diri pun merasa sedih dan senang. Sedih karena tidak menemui orang berlalu lalang untuk kami beri masker. Senang karena aturan yang diberikan pemerintah bisa ditaati. Cukup dilema tapi ada rasa lega tersendiri.

Di tengah-tengah perjalanan, saya melihat ada Bapak yang bingung di pinggir jalan. Ia jongkok dengan membawa ponsel dan buku. Saya pun berhenti dan coba bertanya kepada beliau. Ternyata, beliau ingin mengantar beras dari pemerintah untuk warga pemilik kartu PKH.

Kemudian, saya pun membantu beliau dengan mencoba bertanya ke warga sekitar. Tepatnya di sebelah mobil pengangkut beras yang terparkir di pinggir jalan, ada toko kelontong. Saya pun ke situ untuk mencari tahu siapa ketua PKH daerah yang akan dituju Bapak tersebut. Lantas saya mendapat informasi. Tetapi, saya tidak tahu daerah yang Ibu pemiliki toko maksudkan.

Sehingga, Ibu itu langsung keluar toko bertemu dengan Bapak pembawa beras untuk menjelaskan alamatnya. Setelah semua jelas, saya dan keponakan saya melanjutkan perjalanan.

Kalaupun jauh kami tetap berusaha untuk bisa menyampaikan amanah dari mereka yang telah memberikan donasi. Karena sebelumnya, Madrasah Relawan Jatim telah membuka donasi. Donasi digunakan untuk membeli masker dan dibagikan kepada pejuang keluarga. Pejuang keluarga adalah mereka yang masih mencari sumber keuangan di luar rumah. Utamanya para pedagang jalanan.

Akhirnya, perjalanan yang lama dan panas terik menyengat, kami pun mendapati seorang pedagang bersama anaknya. Pedagang ini menjual es segar yakni es caon. Karena panas yang membakar seluruh tubuh menyebabkan kami haus. Semula ingin memberikan masker kami tunda dahulu. Sejenak menikmati es caon.

Es caon pun habis. Kami sedikit berbincang-bincang dengan bapak penjual es. Ternyata keresahan karena pandemi benar nyatanya dirasakan pada semua lapisan masyarakat. Tidak hanya orang kaya maupun orang tak mampu.

Obrolan berlangsung cukup lama. Hingga hampir lupa tujuan awal untuk membagikan masker. Tetapi tenang saja, amanah tetap tersampaikan. Saya pun melihat anak beliau yang rajin. Anaknya membantu berjualan dan tetap mengutamakan pendidikannya walaupun masih kecil.

Sungguh miris, jika kita yang sudah remaja dan lebih dewasa malah terkadang lalai dengan kewajiban menuntut ilmu. Hindari rebahan yang tidak bermanfaat. Jadilah manusia yang bermanfaat dan mampu membawa perubahan. Perubahan ke arah yang baik mulai dari diri sendiri.

Di setiap obrolan dengan bapak penjual es caon, banyak pesan-pesan terselipkan. Pesan ini berhubungan dengan kewajiban kita sebagai orang muslim. Ya, sholat! Sholat yang lebih dari wajib yakni fardu.

Bapak tersebut mengatakan setiap hari jum'at tidak berjualan. Karena ada hal yang tidak bisa ditinggalkan. Ketika kami membicarakan tentang dilarangnya sholat di masjid atau lebih tepatnya dianjurkan sholat di rumah. Beliau memberikan jawaban yang luar biasa. "Bagaimanapun keadaan kita sholat tetap jadi yang utama. Jangan sampai pandemi menghalangi kita untuk beribadah," tegasnya.

Lalu, saya bertanya kembali "apakah bapak tetap melaksanakan sholat ke masjid?" "Ia, tetapi hanya sholat Jum'at," jelasnya. Beliau sedikit mengeluhkan keadaan ini, karena sekolah yang ditutup. Tapi, beliau pun menyadari juga bahwa kelekatan keluarga pun bisa lebih maksimal. Obrolan pun berakhir. Kami kembali mencari para pedagang pinggir jalan.


Lebih lama lagi ternyata. Karena tak menemui pedagang di sepanjang jalan. Saya pun sudah berniat mau pulang. Tapi, di depan tak jauh dari pandangan tampak Ibu-Ibu pedagang. Ternyata Ibu-Ibu ini juga menjual es. Sayangnya saya tidak membeli dagangannya karena sudah kenyang.

Langsung saja kami memberikan masker yang ada ke mereka. Kesenangan pun tampak di raut mukanya. Serta, ucapan terima kasih yang berkali-kali. Mulanya beliau mengira kami sebagai penjual masker. Hingga kami mau pergi. Beliau masih berkata "ini beneran ya diberi bukan dibeli." Kami pun menjawab dengan senyuman dan lanjut membagikan masker yang tersisa. Akhirnya masker pun tersampaikan ke pejuang keluarga. Walaupun masih sisa dua.

Sungguh, perjalanan yang menguras tenaga. Karena cuaca yang panas. Ditambah lagi panas yang bikin ngantuk ketika nyetir (mengemudi). Tapi, semua itu segera hilang karena melihat sisa masker yang sangat sedikit. Sisa ini masih akan digabung dengan donasi pada periode selanjutnya. Harapannya bisa terbagi ke berbagai daerah di Jawa Timur.

Pandemi memberi banyak pelajaran hidup. Setelah bagi-bagi masker itu saya pun terus di rumah. Karena daerah berstatus merah. Di rumah saja bukan hal yang membosankan bagi saya. Karena, dengan di rumah kita bisa lebih meningkatkan kedekatan dengan keluarga. Tuntutan serba digital, ini menjadi peringatan.

Peringatan supaya kapanpun kita siap dengan perubahan yang mendadak. Ya, sederhana saja sih. Berpikir esok kita akan mati. Maka setiap langkah kita akan berupaya untuk lebih berhati-hati. Serta, terus berupaya berbagi. Karena amalan yang tidak putus salah satunya ilmu yang bermanfaat dan sedekah.

Lebih lama lagi ternyata. Karena tak menemui pedagang di sepanjang jalan. Saya pun sudah berniat mau pulang. Tapi, di depan tak jauh dari pandangan tampak Ibu-Ibu pedagang. Ternyata Ibu-Ibu ini juga menjual es. Sayangnya saya tidak membeli dagangannya karena sudah kenyang.

Langsung saja kami memberikan masker yang ada ke mereka. Kesenangan pun tampak di raut mukanya. Serta, ucapan terima kasih yang berkali-kali. Mulanya beliau mengira kami sebagai penjual masker. Hingga kami mau pergi. Beliau masih berkata "ini beneran ya diberi bukan dibeli." Kami pun menjawab dengan senyuman dan lanjut membagikan masker yang tersisa. Akhirnya masker pun tersampaikan ke pejuang keluarga. Walaupun masih sisa dua.

Sungguh, perjalanan yang menguras tenaga. Karena cuaca yang panas. Ditambah lagi panas yang bikin ngantuk ketika nyetir (mengemudi). Tapi, semua itu segera hilang karena melihat sisa masker yang sangat sedikit. Sisa ini masih akan digabung dengan donasi pada periode selanjutnya. Harapannya bisa terbagi ke berbagai daerah di Jawa Timur.

Pandemi memberi banyak pelajaran hidup. Setelah bagi-bagi masker itu saya pun terus di rumah. Karena daerah berstatus merah. Di rumah saja bukan hal yang membosankan bagi saya. Karena, dengan di rumah kita bisa lebih meningkatkan kedekatan dengan keluarga. Tuntutan serba digital, ini menjadi peringatan.

Peringatan supaya kapanpun kita siap dengan perubahan yang mendadak. Ya, sederhana saja sih. Berpikir esok kita akan mati. Maka setiap langkah kita akan berupaya untuk lebih berhati-hati. Serta, terus berupaya berbagi. Karena amalan yang tidak putus salah satunya ilmu yang bermanfaat dan sedekah. []






Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekonomi Kreatif, Lestarikan Budaya

Disbudpar Kota Blitar, Stakeholder, Batik Mawar Putih  Kita tidak asing lagi dengan kosakata ekonomi kreatif dan pelestarian budaya. Tingkatan pemerintah daerah mendorong program tersebut. Bagaimana tidak? Fasilitas berbagai agenda kebudayaan telah ada di Kota Blitar. Apalagi menjelang bulan pertengahan hingga akhir tahun, selalu disemarakkan dengan festival. Kali ini Zulfa Ilma Nuriana hadir bersama Ikla Harmoa dalam sarasehan stakeholder yang diselenggarakan oleh Disbudpar Kota Blitar. Mereka sebagai perwakilan Forum Lingkar Pena Blitar. Keseruan mengikuti agenda ini terwujud dalam sesi tanya jawab yang diawali dengan promosi company. Selain itu, usai agenda pun bisa berbincang dengan narasumber maupun yang lain. Agenda ini lebih hidup karena ada sesi belajar.  Sesi belajar atau umumnya dikatakan seminar ini bertajuk Strategi Industri Kreatif Lokal Menembus Pasar Global. Pematerinya ialah sepasang suami istri bernama Yogi Rosdianta dan Santika Mawar dari Batik Mawar Putih. Materi yan

Kereta Lagi, Kereta Terus

Pengambilan Foto di jalan Sultan Ahmed, Istanbul  Perjalanan pada Januari 2020 lalu begitu berkesan. Karena banyak hal yang dapat Zulfa eksplor di Türkiye, khususnya daerah Istanbul. Berbekal jiwa nekad dan ridho orang tua, Zulfa memberanikan diri untuk mengikuti agenda Konferensi Tingkat Tinggi. Bonusnya ia bisa extend 6 hari di Istanbul. Enaknya di kota ini kita kemana-mana dengan kereta. Ada kereta di jalan raya dan bawah tanah. Pemanfaatannya juga gampang yang penting punya saldo di Istanbul Card. Cukup padat transportasi umum dan pribadi. Karena selama di sini, Zulfa selalu menjumpai kendaraan. Tapi itu ada di jalan raya.  Jalan-jalan kecil hanya ada kendaraan pribadi. Bedanya budaya antri di Istanbul dan Blitar itu begitu kontras. Ketika Zulfa antri, ia hanya melihat sedikit tempat duduk untuk menunggu. Cukup kaget juga, ternyata lebih banyak antri berdiri dan tinggal masuk daripada duduk di kursi tunggu. Kala itu ia sempat berpikir, "Gercep amat orang-orang masuk ke kereta

Perburuan Tiket Konferensi di Türkiye

Zulfa Ilma Nuriana dalam Koran Jawa Pos tahun 2020 Tiket pesawat yang bikin jantung up and down . Belinya aja tiga hari sebelum tanggal keberangkatan. Hubungin banyak orang di tengah malam. Gak tahu gimana proses belinya. Jalan kepepet kulalui yakni beli pada agen tiket. Awalnya dapat tiket yang perlu transit. Tapi tiket tersebut terdahului oleh yang lain, aku pun dicarikan lagi. Syukur sekali aku justru dapat tiket yang pulang pergi tanpa transit dengan maskapai Turkish Airlines.  Perjalanannya pun juga tak singkat. Hampir 12 jam di dalam pesawat Turkish Airlines. Namun tak melelahkan karena fasilitasnya begitu baik. Kunikmati dengan mendengar murotal, lagu, mengamati langit, tidur, makan, ibadah, dan menonton film pada monitor atau TV kecil. Mau menyicil penelitian, tapi tak bisa karena melihat layar laptop bikin pusing. Sempat terjadi turbulence yang cukup lama. Alhamdulillah tidak begitu terasa guncangannya meski panik juga di awal.  Perjalanan menuju konferensi Istanbul Youth Sum