Langsung ke konten utama

Refleksi Pendidikan

Buku kegiatan Belajar Bersama Maestro yang diselenggarakan Kemdikbud 2018

Covid-19 memberi perubahan di semua lini kehidupan. Hari Pendidikan Nasional tahun ini pun menjadi beda dari sebelum-sebelumnya karena adanya pandemi. Hardiknas 2 Mei 2020 diperingati secara online.

Pandemi ini bukan hambatan untuk kita menuntut ilmu. Sekolah memang hal yang utama. Tetapi, kita bisa menuntut ilmu dimana-mana. Tidak ada yang mewajibkan menuntut ilmu dengan berseragam, ada papan, meja, maupun kursi.

Model pendidikan di Indonesia memang masih terpengaruh dengan pendidikan Barat. Tidak bisa dipungkiri nyatanya seperti itu. Hal utama refleksi pendidikan adalah menuntut ilmu untuk kemaslahatan umat. Bukan hanya formalitas menyusuri pendidikan hingga mendapat gelar yang tinggi. Bukan pula untuk membuat sekat antara yang tidak bersekolah dengan yang sekolah.

Moral dan ilmu seperti tak berharga lagi. Politisasi keilmuan sudah terjadi. Tetapi tiada yang gusar akan hal ini. Demi mengembalikan kemurnian pendidikan, mari sejenak menengok perjuangan para pahlawan yang telah menuntut dan memperjuangkan hak mengenyam ilmu untuk para pribumi di masa penjajahan.

Bermula dari berdirinya Organisasi Budi Utomo. Organisasi Budi Utomo ini seperti jawaban para priyayi Jawa, dokter Wahidin Sudirohusodo, berkolaborasi dengan mahasiswa STOVIA, Sutomo dan kawan-kawannya, terhadap RR 111 (Regeerings Reglement) atau Peraturan Pemerintah Kolonial yang membatasi gerak politik masyarakat bumiputra. 

Pemerintah kolonial tidak dapat menindak gerakan Budi Utomo yang berhasil menghimpun diri dalam memajukan masyarakat Jawa pada waktu itu lewat pendidikan yang berbasiskan gerakan kultural. Namun, gerakan kultural itu hanya alihan saja karena sebenarnya tetap berbau politik.

Budi Utomo mengadakan kongres 1908 yang diorganisasikan oleh Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) kala itu menjadi aktivis dan seksi propaganda Budi Utomo. Lantas Douwes Dekker alias Setyabudi Danudirja mendirikan Indische Partij (IP) di Bandung pada 25 Desember 1912. Ki Hadjar Dewantara dan Tjiptomangoenkoesoemo pun bergabung di dalamnya. 

Terjadilah kolaborasi Indo dan Bumiputra. Douwes Dekker adalah kaum Indo yang tersisihkan. Soewardi Soerjaningrat  yang berjiwa kerakyatan nasionalis Jawa yang sedang tumbuh dan Tjipto Mangoenkoesoemo adalah tokoh yang kritis terhadap diskriminasi kolonial. Kolaborasi ketiga tokoh ini disebut "Tiga Serangkai". 

IP bertujuan untuk membangun patriotisme bangsa Hindia, yaitu kepada tanah air yang telah memberi kehidupan, dan menganjurkan kerjasama berdasarkan persamaan sistem pemerintahan guna memajukan tanah air Hindia dan mempersiapkan kehidupan masyarakat merdeka. Namun, IP tidak berumur panjang. Karena gerakan yang radikalisme dan menyerang pemerintah kolonial. Sehingga, IP dilarang oleh pemerintah kolonial. Tiga Serangkai pun dibubarkan.

Gerakan-gerakan radikal dilakukan Ki Hadjar Dewantara yang diperolehnya dari pengalamannya mengawal Sarekat Islam dan memimpin lokal Bandung. Menurut Tim Museum Kebangkitan Nasional, Djoko Marihandono, dkk tahun 2015, organisasi Sarekat Islam ini pada prinsipnya akan menjalankan syariat Islam dengan tidak melanggar undang-undang, adat-istiadat dan tidak melanggar ketertiban umum. Ada pun tujuannya adalah:
- Memajukan perdagangan kaum bumi putera;
- Menolong anggota-anggotanya yang mendapat kesusahan;
- Memajukan pendidikan, demi meningkatkan kualitas perilaku
penduduk bumi putera;
- Mengedapkan keadilan menurut ajaran agama Islam.

Perjalanan politik Ki Hadjar Dewantara baik di Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij, memberikan banyak pelajaran baginya. Tidak hanya menambah kekuatan untuknya dalam perjuangan politik menghadapi pemerintah kolonial tetapi juga semangat, pendewasaan nasionalismenya, dan cinta tanah air.

Siasat untuk melawan pemerintahan kolonial pun diubahnya. Karena mereka sulit didekati disebabkan adanya cultural gap yang dipertahankan. Maka Ki Hadjar Dewantara melakukan perjuangan politik di luar pemerintahan kolonial.

Langkah tersebut disebut model nonkooperasi. Model nonkooperasi yang Ki Hadjar Dewantara pilih yakni dengan mendirikan Sekolah Taman Siswa yang berjiwa ketimuran meski organisasinya mengikuti model Barat. Namun, tantangan terus dialaminya. Ki Hadjar Dewantara harus berjuang menghadapi Undang-Undang Sekolah Liar, 1932. Undang-Undang itu melarang sekolah bumiputra hidup karena sebagai persemaian nasionalis Indonesia.

Menurut Ingleson (dalam Suhartono Wiryopranoto, Nina Herlins, dkk, 2017: 22) pada 1 Oktober 1932 Ki Hadjar Dewantara mengumumkan tantangannya terhadap ordonansi itu lewat telegram kepada Gubernur Jenderal de Jonge bahwa KHD akan mengorganisasikan perlawanan pasif. Pada 3 Oktober dikeluarkan manifesto yang menganjurkan perlawanan. Partindo, PNI, Pasundan, PPPKI, BU, dan Muhammadiyah mendukung perlawanan terhadap ordonansi itu, jadi dukungan terhadap perlawanan KHD makin kuat. 

Pembatasan apapun terhadap sekolah-sekolah membawa konsekuensi jangka panjang yang sangat berat dan menggoyahkan pemerintah kolonial. Akhirnya pada akhir Februari 1933 de Jonge menetapkan penghentian pelaksanaan ordonansi itu. Tak gentarnya Taman Siswa melawan Undang-Undang tersebut membuahkan hasil yang manis. Akhirnya Undang-Undang tersebut dicabut dan dampaknya menyatukan semangat organisasi politik untuk terus memperjuangkan kebebasan.

Sebagai organisasi, Taman Siswa bukan merupakan lembaga (juga tidak memiliki anggota yang membayar iuran) tetapi merupakan “wakaf bebas”, sejenis “yayasan” bumiputra, tetapi tidak tercatat sebagai lembaga Islam, seperti halnya yang diwajibkan bagi wakaf biasa, karena mereka tidak terikat pada aturan-aturan Islam.

Taman Siswa memiliki tujuh prinsip yakni hak menentukan nasib sendiri, siswa yang mandiri, pendidikan yang mencerahkan masyarakat, pendidikan harus mencakup wilayah yang luas, perjuangan menuntut kemandirian, sistem ketahanan diri, dan pendidikan anak-anak. Prinsip dasarnya yakni Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani. Asas Taman Siswa adalah kemanusiaan dengan sifat kebangsaan. Watak nasional Taman Siswa mengakibatkan orang memperkenalkan anak dengan ide nasional yang tertanam pada rasa kasih kepada bangsa dan tanah airnya sendiri.

Perjalanan perjuangan para pahlawan dalam memperjuangkan hak pribumi untuk mendapat pendidikan yang layak tanpa adanya pembodohan ini cukup panjang. Sungguh miris jika semangat menuntut ilmu kita berkurang.

Tekhnologi sangat membantu untuk kita bisa menuntut ilmu. Telah banyak platform yang memberikan pendidikan gratis. Maka dari itu kita harus bisa menjadi pemuda yang kritis bukan apatis. Kepedulianmu saat ini terhadap bangsa benar-benar diuji. Bukan oleh penjajah, tetapi virus yang tidak bisa kita amati. Tetap produktif di rumah demi memutus rantai penyebaran Covid-19.

Komentar

  1. Belajar sejarah untuk menjadi pribadi yg bisa mensejarah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belajar sejarah juga bisa membuat kita menghargai sebuah proses

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekonomi Kreatif, Lestarikan Budaya

Disbudpar Kota Blitar, Stakeholder, Batik Mawar Putih  Kita tidak asing lagi dengan kosakata ekonomi kreatif dan pelestarian budaya. Tingkatan pemerintah daerah mendorong program tersebut. Bagaimana tidak? Fasilitas berbagai agenda kebudayaan telah ada di Kota Blitar. Apalagi menjelang bulan pertengahan hingga akhir tahun, selalu disemarakkan dengan festival. Kali ini Zulfa Ilma Nuriana hadir bersama Ikla Harmoa dalam sarasehan stakeholder yang diselenggarakan oleh Disbudpar Kota Blitar. Mereka sebagai perwakilan Forum Lingkar Pena Blitar. Keseruan mengikuti agenda ini terwujud dalam sesi tanya jawab yang diawali dengan promosi company. Selain itu, usai agenda pun bisa berbincang dengan narasumber maupun yang lain. Agenda ini lebih hidup karena ada sesi belajar.  Sesi belajar atau umumnya dikatakan seminar ini bertajuk Strategi Industri Kreatif Lokal Menembus Pasar Global. Pematerinya ialah sepasang suami istri bernama Yogi Rosdianta dan Santika Mawar dari Batik Mawar Putih. Materi yan

Kereta Lagi, Kereta Terus

Pengambilan Foto di jalan Sultan Ahmed, Istanbul  Perjalanan pada Januari 2020 lalu begitu berkesan. Karena banyak hal yang dapat Zulfa eksplor di Türkiye, khususnya daerah Istanbul. Berbekal jiwa nekad dan ridho orang tua, Zulfa memberanikan diri untuk mengikuti agenda Konferensi Tingkat Tinggi. Bonusnya ia bisa extend 6 hari di Istanbul. Enaknya di kota ini kita kemana-mana dengan kereta. Ada kereta di jalan raya dan bawah tanah. Pemanfaatannya juga gampang yang penting punya saldo di Istanbul Card. Cukup padat transportasi umum dan pribadi. Karena selama di sini, Zulfa selalu menjumpai kendaraan. Tapi itu ada di jalan raya.  Jalan-jalan kecil hanya ada kendaraan pribadi. Bedanya budaya antri di Istanbul dan Blitar itu begitu kontras. Ketika Zulfa antri, ia hanya melihat sedikit tempat duduk untuk menunggu. Cukup kaget juga, ternyata lebih banyak antri berdiri dan tinggal masuk daripada duduk di kursi tunggu. Kala itu ia sempat berpikir, "Gercep amat orang-orang masuk ke kereta

Perburuan Tiket Konferensi di Türkiye

Zulfa Ilma Nuriana dalam Koran Jawa Pos tahun 2020 Tiket pesawat yang bikin jantung up and down . Belinya aja tiga hari sebelum tanggal keberangkatan. Hubungin banyak orang di tengah malam. Gak tahu gimana proses belinya. Jalan kepepet kulalui yakni beli pada agen tiket. Awalnya dapat tiket yang perlu transit. Tapi tiket tersebut terdahului oleh yang lain, aku pun dicarikan lagi. Syukur sekali aku justru dapat tiket yang pulang pergi tanpa transit dengan maskapai Turkish Airlines.  Perjalanannya pun juga tak singkat. Hampir 12 jam di dalam pesawat Turkish Airlines. Namun tak melelahkan karena fasilitasnya begitu baik. Kunikmati dengan mendengar murotal, lagu, mengamati langit, tidur, makan, ibadah, dan menonton film pada monitor atau TV kecil. Mau menyicil penelitian, tapi tak bisa karena melihat layar laptop bikin pusing. Sempat terjadi turbulence yang cukup lama. Alhamdulillah tidak begitu terasa guncangannya meski panik juga di awal.  Perjalanan menuju konferensi Istanbul Youth Sum