Seorang yang suka dengan perubahan. Tetapi tak ingin meninggalkan diri dalam keramaian. Larik-larik sajak tertuang dengan penuh kisah. Alam membungkus semua yang rekayasa menjadi nyata. Sastra yang ditemuinya bukan sekedar kata. Tetapi sastra yang bersuara.
Tak lihai dan tak begitu pandai dalam merangkai kata. Perjalanan yang sering dilalui dengan penuh keegoisan. Dekati alam menjauhi keramaian. Itu hal yang paling ia sukai. Keterasingan menurutnya berada dalam keramaian yang penuh kemunafikan.
Kejujuran ia dapatkan di alam. Perjalanan mencapai puncak harus dilaluinya dengan beradu di jalan. Jalan-jalan yang cukup terjal segan untuk mempercepat kematian motor. Ya, mesin yang sudah berbau dan ditambah dengan knalpot yang panas.
Namun, di setiap jalan rasa lelah tak begitu menjalar. Karena kanan kiri tanaman meramu kesejukan. Gelak tawa bersama kedua orang tua menambah kebahagiaan. Rasa syukur terus terucap di setiap jalan terjal. Tak jarang harus turun dari motor karena jalanan tidak berteman.
Burung-burung saling bersautan. Penuhi hutan belantara yang cukup temaram. Belum sampai pada tempat tujuan. Ia bersama keluarga terbasahi oleh rintikan hujan. Banyak kata yang keluar dari mulutnya. Komentari dedaunan, ranting, dan sebagainya. Karena keunikan di setiap perbedaan dari pepohonan yang ada di kanan kirinya.
Sirah Kencong adalah kebun teh yang memberi kesan puncak pertama yang ia dapati. Keinginannya untuk mendaki belum bisa terealisasi. Namun, kebun teh ini telah mengobati. Warung kopi yang sederhana memberi romansa. Di sisi warung terdapat angkringan yang dilengkapi dengan beberapa tumpukan buku.
Alam dan sastrapun menyatu dalam kesejukan kala itu. Namun, buku itu tetap tetap terjaga pada posisinya. Ia belum ada hasrat untuk menelisik cerita di dalamnya. Karena orang tuanya mengajak ke air terjun, ia pun mengikuti ajakan itu. Sejenak melupa dengan kebisingan di kotanya.
Di perjalanan menuju air terjun ia tak begitu banyak bicara. Hanya bertanya satu dua patah kata. Ibunya terus saja bercakap tentang pakis yang ada di pinggir-pinggir tebing. Ia pun terkadang menanggapi dan terkadang tak peduli. Lamanya perjalanan menuju air terjun seperti tak terasa. Setiap ia tanya kurang berapa meter lagi jawab Bapaknya, "Sebentar lagi sampai".
1 km di pegunungan itu layaknya tipuan sejati. Karena jarak tempuh memang 1 km, namun lika-liku jalan sangatlah ekstrim. Sedikit salah langkah, terperosok sudah.
Air terjun pun sudah tampak. Aroma tanaman didekat air pun begitu segar dan menenangkan pikiran. Air yang mengalir dari hulu ke hilir pun terlihat bersih dan jernih. Hingga, hewanpun suka berpenghuni. Pacet atau lintah, menempel dikaki Ibunya. Ia pun langsung tersontak, tetapi Ibunya biasa saja. Karena Ibunya tidak tahu kalau ada lintah menghisap darahnya.
Setelah Ibunya tahu, ekspresi yang tak terduga pun muncul. Namun, ia menenangkan Ibunya supaya tidak terjatuh di sela-sela bebatuan. Lantas Bapaknya berusaha mencari ranting untuk melepaskan lintah dari kaki Ibunya. Akhirnya, ia dan orang tuanya menyegerakan turun ke warung.
Sesampainya di warung kopi, ia ke kamar mandi untuk membasuh kaki. Bapaknya pun memesan kopi. Ibunya cukup terlelahkan dan bersandar di angkringan.
Ia teringat pada buku yang tertumpuk di angkringan. Secara cepat dirinya terfokus pada satu buku yang berjudul Pejalan Anarki. Lalu, ia baca sedikit demi sedikit paragraf yang telah tertata rapi. Fokusnya sempat pecah oleh sosok pemuda yang membuatkan kopi ke dua orang tuanya.
Orang tuanya pun bercakap-cakap dengannya. Ia pun berusaha fokus kembali pada buku yang dibacanya. Sekalipun fokus pada buku ia tetap bisa meraih percakapan orang tuanya dengan pemuda dan pemilik warung.
Tak lihai dan tak begitu pandai dalam merangkai kata. Perjalanan yang sering dilalui dengan penuh keegoisan. Dekati alam menjauhi keramaian. Itu hal yang paling ia sukai. Keterasingan menurutnya berada dalam keramaian yang penuh kemunafikan.
Kejujuran ia dapatkan di alam. Perjalanan mencapai puncak harus dilaluinya dengan beradu di jalan. Jalan-jalan yang cukup terjal segan untuk mempercepat kematian motor. Ya, mesin yang sudah berbau dan ditambah dengan knalpot yang panas.
Namun, di setiap jalan rasa lelah tak begitu menjalar. Karena kanan kiri tanaman meramu kesejukan. Gelak tawa bersama kedua orang tua menambah kebahagiaan. Rasa syukur terus terucap di setiap jalan terjal. Tak jarang harus turun dari motor karena jalanan tidak berteman.
Burung-burung saling bersautan. Penuhi hutan belantara yang cukup temaram. Belum sampai pada tempat tujuan. Ia bersama keluarga terbasahi oleh rintikan hujan. Banyak kata yang keluar dari mulutnya. Komentari dedaunan, ranting, dan sebagainya. Karena keunikan di setiap perbedaan dari pepohonan yang ada di kanan kirinya.
Sirah Kencong adalah kebun teh yang memberi kesan puncak pertama yang ia dapati. Keinginannya untuk mendaki belum bisa terealisasi. Namun, kebun teh ini telah mengobati. Warung kopi yang sederhana memberi romansa. Di sisi warung terdapat angkringan yang dilengkapi dengan beberapa tumpukan buku.
Alam dan sastrapun menyatu dalam kesejukan kala itu. Namun, buku itu tetap tetap terjaga pada posisinya. Ia belum ada hasrat untuk menelisik cerita di dalamnya. Karena orang tuanya mengajak ke air terjun, ia pun mengikuti ajakan itu. Sejenak melupa dengan kebisingan di kotanya.
Di perjalanan menuju air terjun ia tak begitu banyak bicara. Hanya bertanya satu dua patah kata. Ibunya terus saja bercakap tentang pakis yang ada di pinggir-pinggir tebing. Ia pun terkadang menanggapi dan terkadang tak peduli. Lamanya perjalanan menuju air terjun seperti tak terasa. Setiap ia tanya kurang berapa meter lagi jawab Bapaknya, "Sebentar lagi sampai".
1 km di pegunungan itu layaknya tipuan sejati. Karena jarak tempuh memang 1 km, namun lika-liku jalan sangatlah ekstrim. Sedikit salah langkah, terperosok sudah.
Air terjun pun sudah tampak. Aroma tanaman didekat air pun begitu segar dan menenangkan pikiran. Air yang mengalir dari hulu ke hilir pun terlihat bersih dan jernih. Hingga, hewanpun suka berpenghuni. Pacet atau lintah, menempel dikaki Ibunya. Ia pun langsung tersontak, tetapi Ibunya biasa saja. Karena Ibunya tidak tahu kalau ada lintah menghisap darahnya.
Setelah Ibunya tahu, ekspresi yang tak terduga pun muncul. Namun, ia menenangkan Ibunya supaya tidak terjatuh di sela-sela bebatuan. Lantas Bapaknya berusaha mencari ranting untuk melepaskan lintah dari kaki Ibunya. Akhirnya, ia dan orang tuanya menyegerakan turun ke warung.
Sesampainya di warung kopi, ia ke kamar mandi untuk membasuh kaki. Bapaknya pun memesan kopi. Ibunya cukup terlelahkan dan bersandar di angkringan.
Ia teringat pada buku yang tertumpuk di angkringan. Secara cepat dirinya terfokus pada satu buku yang berjudul Pejalan Anarki. Lalu, ia baca sedikit demi sedikit paragraf yang telah tertata rapi. Fokusnya sempat pecah oleh sosok pemuda yang membuatkan kopi ke dua orang tuanya.
Orang tuanya pun bercakap-cakap dengannya. Ia pun berusaha fokus kembali pada buku yang dibacanya. Sekalipun fokus pada buku ia tetap bisa meraih percakapan orang tuanya dengan pemuda dan pemilik warung.
Angkringan itu telah menguasai dirinya. Kolam koi di bawah angkringan menjadi saksi atas kekhusukannya ketika membaca. Kebun teh yang berada di depan jauh pun menguatkan dirinya untuk tetap berada pada posisi yang sama.
Namun, ia tak bisa memaksakan keinginannya. Ia dan orang tuanya pun memutuskan pulang. Perjalanan alam yang menguatkan jiwa. Walaupun terputus cerita dari buku Pejalan Anarki, ia menjadi mengerti bahwa bukan nikmat pribadi yang harus dipenuhi melainkan kententraman baik diri maupun orang sekitarnya.
Namun, ia tak bisa memaksakan keinginannya. Ia dan orang tuanya pun memutuskan pulang. Perjalanan alam yang menguatkan jiwa. Walaupun terputus cerita dari buku Pejalan Anarki, ia menjadi mengerti bahwa bukan nikmat pribadi yang harus dipenuhi melainkan kententraman baik diri maupun orang sekitarnya.
Cantik
BalasHapusTerima kasih Oma
HapusTerima kasih kak
BalasHapus