Langsung ke konten utama

World Freedom Press Day: Membingkai Kebebasan Pers di Indonesia


World Freedom Press Day diperingati pada 3 Mei. Pada tahun 2020 tepat pada hari ini. Perjalanan panjang kebebasan pers di Indonesia pasti terdapat berbagai lika-liku. Sangat disayangkan karena penerus bangsa tidak banyak yang tahu. Oleh karenanya, artikel ini memberi sedikit wacana terkait itu.

Sejak penjajahan Belanda telah ada berbagai percobaan ke dunia jurnalisme. Pers pertama yang resmi dibuat di bawah Gubernur Jenderal Van Imhoff pada 1744, ketika Bataviasche Nouvelles diterbitkan. Namun, keberadaannya tak begitu lama karena dianggap bahaya. Serta, tidak disetujui oleh pihak Belanda. Akhirnya Bataviasche Nouvelles pun berakhir.

Setelahnya muncul Bataviasche Koloniale Courant yang pada permulaan abad terakhir tergantikan oleh koran resmi Inggris, Java Government Gazette. Tapi namanya beralih ketika koloni kembali ke Belanda. Pada masa ini nama-nama koran banyak yang tak nyata atau bukan sebenarnya. The Javasche Courant adalah satu-satunya jurnal yang ada dan lembaran resmi Pemerintah.

Pada 1835 barulah muncul surat kabar perintis yakni Soerabaja Courant. Pers yang sudah mendapat posisi penting tak lain halnya berisi peraturan, intruksi, ucapan syukur, orasi pemakaman, tetap diawasi dengan ketat.

Pemerintah pada 1842 melarang percetakan pribadi. Lantas tindaklanjutnya pada 1847, pihak berwenang menyatakan bahwa percetakan pribadi hanya diperbolehkan bagi mereka yang mendapat hak istimewa.

Perubahan silih berganti. Pada tahun 1848 ada berbagai pergolatan. Reaksi dari pemerintah Belanda sangat tampak. Mulai dari adopsi oleh otoritas tindakan tegas dari penindasan, menawari jalan gratis, dan kompensasi uang untuk kembali ke rumah. Karena di periode ini ada seorang pendeta dan seorang dari Rotterdam. Agaknya keduanya cukup berbahaya dalam menyuarakan kebebasan pers. Namun, seorang W. Bruining dari Rotterdam tak ingin kembali karena telah melalui perjalanan panjang.

Perjuangannya pun berhasil. Ia mendapat izin untuk menerbitkan surat kabar mingguan Het Bataviasch Advertentieblad. Namun, itu pun juga tidak lama. Kemudian surat kabar tersebut tergantikan oleh Java Bode, yang didirikan oleh Tuan Bruining bersama dengan Tuan H. V. Van Drop (yang sebagai manajernya). Java Bode pun mengalami perubahan mulai dari pemegang sepenuhnya, beralih jadi koran harian, dan muncul pesaing.

Pada tahun itu memberikan atmosfer baru bagi dunia jurnalisme. Kemudian pada tahun 1851 muncul sebuah penerbitan di Semarang yang sangat makmur disebut Locomotief. Sulit bagi pesaing menyaingi penerbitan ini. Walaupun sudah muncul banyak penerbita di Semarang tetapi Locomotief tetap eksis.

Sementara 1885 muncul koran harian di Batavia. Koran tersebut diberi nama Bataviaasch Niewsblad. Sedangkan  di Surabaya muncul sebuah makalah yang sangat kecil, Thiemes Advertentieblad. Keduanya memberi nafas baru di Netherlands Indian Press, karena mereka adalah pelopor koran-koran murah.

Jawa telah muncul berbagai koran mingguan maupun harian. Sumatra pun mendirikan The Sumatra Bode pada tahun 1893. Koran tersebut keturunan dari Padangsche Handelsblad, sebuah koran yang pernah menggulingkan Courant Sumatra. Pada tahun 1898, The Padanger memulai kiprahnya. Namun, umurnya pun begitu singkat. Pada tahun ini juga muncul makalah di Palembang yang disebut Nieuws en Advertentieblad voor de residentiën Palembang, Djambi, en Blanka.

Pada tahun 1900 di Kota Radja muncul sebuah jurnal yang disebut Nieuws en Advertentieblad voor Adjeh en Onderhoorig heden.

Pada tahun 1903, muncul edisi pertama koran harian yang memasok sangat baik permintaan lokal untuk berbagai berita. Koran harian tersebut disebut Mataram.

Di luar Jawa dan Sumatra didirikan surat kabar harian yakni Makassaarsche Courant. Surat kabar tersebut didirikan di Makassar pada tahun 1894.

Berbagai jurnal, makalah, koran, dan surat kabar di atas tadi masih belum mencakup keseluruhan. Tapi, ada yang lebih utama dan penting dalam perkembangan pers ini. Terbitan dalam kehidupan sehari-hari yakni The Malay Press. Telah memberi kemajuan besar di segala penjuru. Koran Melayu tertua adalah Bintang Soerabaja yang didirikan pada tahun 1861. Koran yang selalu menentang pemerintah. Adapun makalah mingguan yang diakui para pejabat pribumi adalah Prijaji Medan, diedit oleh seorang Jawa yakni Raden Mas Tirto Adi Soerio.

Beranjak pada tahun 1960-an. Tepat pada 1 Mei 1961 telah lahir majalah penting yang diberi nama majalah Sastra dengan redaksi HB Jassin, M Balfas, dan DS Moeljanto. Sebuah majalah yang telah membesarkan Rendra, Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, B Soelarto, Hartojo Andangdjaja, dan Djamil Suherman. Walaupun berpengaruh penting majalah ini mati pada 1964 akibat politik.

Masuklah di masa yang cukup memberi kesan bagi yang telah melalui masa ini ataupun tidak. Orde Baru is time crisis freedom to menerbitkan pers. Not just it, surounding pendapat juga sulit. Hal ini sangat mudah diketahui dari berbagai berita yang telah beredar. Serta, argumen masyarakat yang telah melalui masa ini.

Setelah berakhirnya masa ini. Masa yang sangat lama. Semuanya terbungkam dan pasrah tanpa bisa berulah. Reformasi telah memberi banyak perubahan. Kebebasan untuk berpendapat dan pemberitaan. Namun, berbagai tantangan muncul seiring perkembangan tekhnologi yang semakin pesat. Tampak jelas saat ini para penerbit koran gulung tikar. Ada pula yang cepat beradaptasi dengan perubahan zaman. Mereka beralih pads dunia digital. Hingga terselamatkan dari namanya gulung tikar.

Dilema pasti ada. Jurnalisme dan penerbit ingin memajukan kualitas berita atau mengejar target iklan yang ada. Namun, paling utama adalah berkuranglah hoax di Indonesia maupun dunia. Serta, masyarakat Indonesia mari jadi pembaca dan pemberi informasi yang teliti dan aktual. Supaya di masa pandemi, psikologis setiap orang bisa lebih stabil. Indonesia segera pulih.

Sumber:
Douwes Dekker, Acting Editor, Bataviaasch Nieuwsblad (Alih Bahasa: Ayuning Wacana Manik)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekonomi Kreatif, Lestarikan Budaya

Disbudpar Kota Blitar, Stakeholder, Batik Mawar Putih  Kita tidak asing lagi dengan kosakata ekonomi kreatif dan pelestarian budaya. Tingkatan pemerintah daerah mendorong program tersebut. Bagaimana tidak? Fasilitas berbagai agenda kebudayaan telah ada di Kota Blitar. Apalagi menjelang bulan pertengahan hingga akhir tahun, selalu disemarakkan dengan festival. Kali ini Zulfa Ilma Nuriana hadir bersama Ikla Harmoa dalam sarasehan stakeholder yang diselenggarakan oleh Disbudpar Kota Blitar. Mereka sebagai perwakilan Forum Lingkar Pena Blitar. Keseruan mengikuti agenda ini terwujud dalam sesi tanya jawab yang diawali dengan promosi company. Selain itu, usai agenda pun bisa berbincang dengan narasumber maupun yang lain. Agenda ini lebih hidup karena ada sesi belajar.  Sesi belajar atau umumnya dikatakan seminar ini bertajuk Strategi Industri Kreatif Lokal Menembus Pasar Global. Pematerinya ialah sepasang suami istri bernama Yogi Rosdianta dan Santika Mawar dari Batik Mawar Putih. Materi yan

Kereta Lagi, Kereta Terus

Pengambilan Foto di jalan Sultan Ahmed, Istanbul  Perjalanan pada Januari 2020 lalu begitu berkesan. Karena banyak hal yang dapat Zulfa eksplor di Türkiye, khususnya daerah Istanbul. Berbekal jiwa nekad dan ridho orang tua, Zulfa memberanikan diri untuk mengikuti agenda Konferensi Tingkat Tinggi. Bonusnya ia bisa extend 6 hari di Istanbul. Enaknya di kota ini kita kemana-mana dengan kereta. Ada kereta di jalan raya dan bawah tanah. Pemanfaatannya juga gampang yang penting punya saldo di Istanbul Card. Cukup padat transportasi umum dan pribadi. Karena selama di sini, Zulfa selalu menjumpai kendaraan. Tapi itu ada di jalan raya.  Jalan-jalan kecil hanya ada kendaraan pribadi. Bedanya budaya antri di Istanbul dan Blitar itu begitu kontras. Ketika Zulfa antri, ia hanya melihat sedikit tempat duduk untuk menunggu. Cukup kaget juga, ternyata lebih banyak antri berdiri dan tinggal masuk daripada duduk di kursi tunggu. Kala itu ia sempat berpikir, "Gercep amat orang-orang masuk ke kereta

Perburuan Tiket Konferensi di Türkiye

Zulfa Ilma Nuriana dalam Koran Jawa Pos tahun 2020 Tiket pesawat yang bikin jantung up and down . Belinya aja tiga hari sebelum tanggal keberangkatan. Hubungin banyak orang di tengah malam. Gak tahu gimana proses belinya. Jalan kepepet kulalui yakni beli pada agen tiket. Awalnya dapat tiket yang perlu transit. Tapi tiket tersebut terdahului oleh yang lain, aku pun dicarikan lagi. Syukur sekali aku justru dapat tiket yang pulang pergi tanpa transit dengan maskapai Turkish Airlines.  Perjalanannya pun juga tak singkat. Hampir 12 jam di dalam pesawat Turkish Airlines. Namun tak melelahkan karena fasilitasnya begitu baik. Kunikmati dengan mendengar murotal, lagu, mengamati langit, tidur, makan, ibadah, dan menonton film pada monitor atau TV kecil. Mau menyicil penelitian, tapi tak bisa karena melihat layar laptop bikin pusing. Sempat terjadi turbulence yang cukup lama. Alhamdulillah tidak begitu terasa guncangannya meski panik juga di awal.  Perjalanan menuju konferensi Istanbul Youth Sum