Langsung ke konten utama

Alih Wahana Sastra

Taklimat Media "Sandiwara Sastra"
Taklimat media launching Sandiwara Sastra pada 6 Juli 2020

Sandiwara Sastra merupakan alih wahana karya sastra Indonesia. Pertama kali aku mengetahui ini langsung teringat dengan Sandiwara Radio yang pernah diceritakan Bapak. Bapak sangat suka dengan Sandiwara Radio. Beliau menyebutkan karya legendaris di Indonesia seperti Saur Sepuh dan Tutur Tinular.

Saur Sepuh merupakan karya Almarhum Niki Kosasih yang menceritakan tentang perjalanan seorang pendekar sakti bernama Brama Kumbara. Brama Kumbara yang kelak akan menjadi raja di salah satu kerajaan di wilayah selatan bernama Madangkara. Latar ceritanya pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk pada zaman kerajaan Hindu Buddha Majapahit di Nusantara. Sandiwara radio ini disiarkan melalui media radio pada Dasawarsa 1980-an di Indonesia.

Sedangkan Tutur Tinular yang juga karya legendaris ini disiarkan pertama kali pada 1 Januari 1989 dan dipancarluaskan lebih dari 512 pemancar stasiun radio di seluruh Indonesia. Karya S. Tidjab ini mengisahkan tentang perjalanan hidup dan pencarian jati diri seorang pendekar yang berjiwa ksatria. Pendekar tersebut bernama Arya Kamandanu. 

Kisah yang berjudul Tutur Tinular ini menggunakan latar belakang sejarah runtuhnya Kerajaan Singosari dan berdirinya Kerajaan Majapahit. Judul Tutur Tinular berasal dari bahasa Jawa yang berarti "nasihat".

Aku senang walaupun termasuk generasi millenial masih bisa mendapatkan cerita asik dan menarik di era 80-an dan 90-an dari Bapak. Nasihat di sandiwara radio itu juga dituturkan Bapak. Bapak mengatakan bahwa perjuangan dalam mengalahkan ketakutan, mencari jati diri, dan menggapai mimpi harus diusahakan dengan disertai doa.

Romansa di era itu seperti kembali lagi dengan rilisnya Sandiwara Sastra. Sandiwara Sastra telah mengudara pada 8 Juli 2020 pukul 17.00 WIB melalui podcast di Spotify @budayakita. Nantinya 10 episode akan dirilis secara berkala setiap hari Rabu pukul 17.00 WIB. Saat ini masih 6 episode yang siap disajikan dan 4 episode yang masih digarap.

Sandiwara Sastra diproduseri oleh Happy Salma dan Yulia Evina Bhara. Sutradaranya yang tak kalah keren yakni Gunawan Maryanto. Tentunya dengan pengisi suara yang tidak asing di jagat maya seperti Reza Rahadian, Chicco Jerikho, Marsha Timothy, Pevita Pearce, Najwa Shihab, Iqbaal Ramadhan, Jefri Nichol, Lukman Sardi, Vino G. Bastian, Happy Salma, Gunawan Maryanto, Widi Mulia, Arswendy Bening Swara, Adinia Wirasti, Atiqah Hasiholan, Maudy Koesnaedi dan lainnya.

Para pengisi suara di Sandiwara Sastra ini banyak yang mengaku masih pertama kali melakukan sandiwara audio. Christine Hakim sebagai aktris senior pun mengaku baru di Sandiwara Sastra memainkan sandiwara audio. 

Pevita Pearce juga berpendapat sama dengannya. "Ini pengalaman pertama aku untuk drama radio karena biasanya depan kamera dan ini sebuah pengalaman baru. Ini sangat menyegarkan dalam keadaan pandemi, mudah-mudahan ini bisa menjadi ajakan masyarakat lainnya untuk mengenal sastra lainnya," ujar Pevita dalam taklimat media launching Sandiwara Sastra secara daring. 

Aktor lain seperti Iqbal Ramadhan mengaku mendapat pengalaman baru. Serta, ada tantangan tersendiri dalam memerankan tokohnya. Ia memerankan tokoh hewan yakni burung perkutut. Dalam taklimat media launching Sandiwara Sastra pada 6 Juli 2020 ia juga mengaku kesulitan mendalami peran tersebut karena pertama kali sandiwara radio dan memerankan tokoh hewan.

Namun, berbalik dengan Marsha Timothy yang memerankan karakter Helen dalam novel berjudul Helen dan Sukanta karya Pidi Baiq. Marsha dapat menghayati peran lebih dalam karena teringat dengan kisah kakek dan neneknya. "Kakek saya sudah tinggal puluhan tahun di Belanda, ketika sakit dan menjelang meninggal itu pun inginnya dibawa ke sini, meninggal di sini. Saya kayak bisa relate dengan perasaannya Helen,” ucap Marsha di taklimat media launching Sandiwara Sastra.

Sandiwara Sastra ini mengadaptasi karya sastra terkenal seperti novel "Lalita" karya Ayu Utami, cerpen "Berita dari Kebayoran" karya Pramoedya Ananta Toer, novel "Helen dan Sukanta" karya Pidi Baiq, novel "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari, dan beberapa lainnya. Alih wahana karya sastra ini sangat mendorong pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia. Media modern seperti Spotify digunakan supaya generasi bangsa Indonesia dapat menjangkau dan lebih menyukai sastra.

Sastra itu indah. Sungguh miris jika kita sebagai generasi muda tidak mengenalnya. Sepatutnya kita mendorong perubahan yang terjadi saat ini. Pelestarian sastra melalui berbagai media pasti bisa memberi warna bangsa Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekonomi Kreatif, Lestarikan Budaya

Disbudpar Kota Blitar, Stakeholder, Batik Mawar Putih  Kita tidak asing lagi dengan kosakata ekonomi kreatif dan pelestarian budaya. Tingkatan pemerintah daerah mendorong program tersebut. Bagaimana tidak? Fasilitas berbagai agenda kebudayaan telah ada di Kota Blitar. Apalagi menjelang bulan pertengahan hingga akhir tahun, selalu disemarakkan dengan festival. Kali ini Zulfa Ilma Nuriana hadir bersama Ikla Harmoa dalam sarasehan stakeholder yang diselenggarakan oleh Disbudpar Kota Blitar. Mereka sebagai perwakilan Forum Lingkar Pena Blitar. Keseruan mengikuti agenda ini terwujud dalam sesi tanya jawab yang diawali dengan promosi company. Selain itu, usai agenda pun bisa berbincang dengan narasumber maupun yang lain. Agenda ini lebih hidup karena ada sesi belajar.  Sesi belajar atau umumnya dikatakan seminar ini bertajuk Strategi Industri Kreatif Lokal Menembus Pasar Global. Pematerinya ialah sepasang suami istri bernama Yogi Rosdianta dan Santika Mawar dari Batik Mawar Putih. Materi yan

Kereta Lagi, Kereta Terus

Pengambilan Foto di jalan Sultan Ahmed, Istanbul  Perjalanan pada Januari 2020 lalu begitu berkesan. Karena banyak hal yang dapat Zulfa eksplor di Türkiye, khususnya daerah Istanbul. Berbekal jiwa nekad dan ridho orang tua, Zulfa memberanikan diri untuk mengikuti agenda Konferensi Tingkat Tinggi. Bonusnya ia bisa extend 6 hari di Istanbul. Enaknya di kota ini kita kemana-mana dengan kereta. Ada kereta di jalan raya dan bawah tanah. Pemanfaatannya juga gampang yang penting punya saldo di Istanbul Card. Cukup padat transportasi umum dan pribadi. Karena selama di sini, Zulfa selalu menjumpai kendaraan. Tapi itu ada di jalan raya.  Jalan-jalan kecil hanya ada kendaraan pribadi. Bedanya budaya antri di Istanbul dan Blitar itu begitu kontras. Ketika Zulfa antri, ia hanya melihat sedikit tempat duduk untuk menunggu. Cukup kaget juga, ternyata lebih banyak antri berdiri dan tinggal masuk daripada duduk di kursi tunggu. Kala itu ia sempat berpikir, "Gercep amat orang-orang masuk ke kereta

Perburuan Tiket Konferensi di Türkiye

Zulfa Ilma Nuriana dalam Koran Jawa Pos tahun 2020 Tiket pesawat yang bikin jantung up and down . Belinya aja tiga hari sebelum tanggal keberangkatan. Hubungin banyak orang di tengah malam. Gak tahu gimana proses belinya. Jalan kepepet kulalui yakni beli pada agen tiket. Awalnya dapat tiket yang perlu transit. Tapi tiket tersebut terdahului oleh yang lain, aku pun dicarikan lagi. Syukur sekali aku justru dapat tiket yang pulang pergi tanpa transit dengan maskapai Turkish Airlines.  Perjalanannya pun juga tak singkat. Hampir 12 jam di dalam pesawat Turkish Airlines. Namun tak melelahkan karena fasilitasnya begitu baik. Kunikmati dengan mendengar murotal, lagu, mengamati langit, tidur, makan, ibadah, dan menonton film pada monitor atau TV kecil. Mau menyicil penelitian, tapi tak bisa karena melihat layar laptop bikin pusing. Sempat terjadi turbulence yang cukup lama. Alhamdulillah tidak begitu terasa guncangannya meski panik juga di awal.  Perjalanan menuju konferensi Istanbul Youth Sum