Bab 1: Mentari
Di kelas pojok, Nur mengamati cerahnya langit pagi dan Mentari yang mengintai. Jauh di lapangan luar sekolah Nur, tampak para pemuda sibuk menata busur panjangnya. Tak lama dari kesibukannya menyapa alam, Nur mulai menyibukkan diri dengan menajamkan mata pada satu pemuda. Pemuda itu adalah kakak tingkatnya yang berjarak lima tahun dengannya. Ia yang memberi semangat kepada Nur ketika mengalami kegagalan. Nur sendiri berharap memiliki sosok kakak kandung laki-laki yang sangat menyayangi. Tetapi, hal itu tak mungkin terjadi. Karena dirinya adalah anak pertama di keluarganya.
"Setidaknya aku menemukan kakak laki-laki seperti Mas Ucup. Walaupun bukan kakak kandung, dia sudah menjadi bagian dari perjuanganku baru-baru ini. Andai saja aku tak membaca Majalah Sekolah, pasti pertemuanku dengan Mas Ucup tak akan terjadi," ujarnya di pagi buta.
"Hei. Sibuk apa kau Nur? Pagi-pagi gini melamun tak jelas," sapa temannya sambil menepuk pundaknya.
"Dasar kau Yuyu. Untung saja aku nggak kaget sampai loncat. Lantai dua ini tinggi, gak sejengkal dua jengkal," sahut Nur dengan raut jengkel.
"Hahaha, maaf. Ngomong-ngomong dateng paling pagi, udah piket belum kau?"
"Eh iya, belum Yu," jawab Nur dengan cengar-cengir.
Keduanya pun membersihkan kelas berdua dengan canda-tawa. Yuyu adalah panggilan akrabnya. Hanya dia yang memahami keadaan Nur. Dia juga yang membela Nur ketika teman sekelas memojokkannya. Perbedaan agama bukan menjadi kendala. Toleransi antar keduanya semakin lekat. Tak jarang mereka pun sependapat. Tentunya dalam hal kebaikan.
Seusai keduanya selesai piket. Kelaspun diramaikan dengan kawan-kawan yang tak begitu suka dengannya. Hal-hal jail pun sering Nur dapati. Namun, keadaan itu tak menyurutkan langkahnya untuk menuntut ilmu.
***
Semester genap di kelas X yang hampir usai membuat Nur berpikir keras. Mulai dari nilai akademik, ekstrakurikuler, dan organisasi yang ia ikuti. Kekhawatirannya pun memuncak, karena rasa candu untuk mencontek tidak hilang-hilang dari dalam dirinya. Namun, ia terus berupaya untuk memadamkan rasa itu. Hingga datanglah pekan Ulangan Harian per mata pelajaran. Demi, menghilangkan rasa candu itu, ia beranikan diri untuk tidak mencontek sama sekali selama Ulangan Harian di semua mata pelajaran. Nur tak menduga bahwa disetiap kesulitan yang ia hadapi malah semakin mudah ia selesaikan. Rasa takjubnya sangat tampak ketika dia menyelesaikan Ulangan Harian mata pelajaran PPKN.
"Niat baik, berbuah baik. Kemana saja aku selama ini? Sungguh diri yang buta akan segala nikmat-Nya. Bodohnya aku yang terkuasai oleh nafsu. Waktu yang diberikan Bapak Guru bukanlah cuma-cuma. Belum tentu temanku mendapatkan toleransi waktu. Keterlambatanku ini sangatlah tidak wajar. Materi ini sama persis dengan materi yang kupelajari tadi pagi," Nur berkata-kata dalam batinnya.
Waktunya mengerjakan ujian hanya tersisa 25 menit dari alokasi 60 menit. Ia terlambat karena sholat dhuha dahulu. Jarak kelas ke masjid sekolah pun cukup jauh. Serta, waktunya menuju ke masjid untuk sholat dhuha yang begitu mepet dengan jam masuk pelajaran. Sehingga keterlambatannya pun melebihi setengah jam. Tetapi, Bapak Guru memberikan keringanan kepadanya dan tetap mempersilakan untuk mengerjakan ujian. Walaupun tanpa ada penambahan waktu. Nur tak mengalami kesulitan selama menyelesaikan ujiannya. Ketika waktu berakhir ujian, ia juga sudah selesai. Tentunya tanpa mencontek. Perlahan ia mampu melewati satu per satu ujian tanpa mencontek.
"Sangat beda ternyata. Kelegaan setelah mengerjakan ujian tanpa mencontek menumbuhkan semangat baru. Badan pun terasa ringan. Seolah tidak ada beban yang kusangga. Dulu saja ketika aku mencontek, sangatlah jelas bayang-bayang ketakutan. Rasa cemas yang menyerbu diri," ujar Nur dalam hati setelah merampungkan ujian.
"Nur, yuk ke kantin!" Yuyu mengajaknya, tanpa sadar kalau Pak Guru masih di dalam kelas.
"Yuyu...," jawab Nur pelan dengan mengkedip-kedipkan matanya.
"Kelilipan mata kau?" tanya Yuyu kepada Nur.
Tidak ada jawaban dari Nur melainkan Pak Guru yang langsung memanggil Yuyu atau Wahyu.
"Setidaknya aku menemukan kakak laki-laki seperti Mas Ucup. Walaupun bukan kakak kandung, dia sudah menjadi bagian dari perjuanganku baru-baru ini. Andai saja aku tak membaca Majalah Sekolah, pasti pertemuanku dengan Mas Ucup tak akan terjadi," ujarnya di pagi buta.
"Hei. Sibuk apa kau Nur? Pagi-pagi gini melamun tak jelas," sapa temannya sambil menepuk pundaknya.
"Dasar kau Yuyu. Untung saja aku nggak kaget sampai loncat. Lantai dua ini tinggi, gak sejengkal dua jengkal," sahut Nur dengan raut jengkel.
"Hahaha, maaf. Ngomong-ngomong dateng paling pagi, udah piket belum kau?"
"Eh iya, belum Yu," jawab Nur dengan cengar-cengir.
Keduanya pun membersihkan kelas berdua dengan canda-tawa. Yuyu adalah panggilan akrabnya. Hanya dia yang memahami keadaan Nur. Dia juga yang membela Nur ketika teman sekelas memojokkannya. Perbedaan agama bukan menjadi kendala. Toleransi antar keduanya semakin lekat. Tak jarang mereka pun sependapat. Tentunya dalam hal kebaikan.
Seusai keduanya selesai piket. Kelaspun diramaikan dengan kawan-kawan yang tak begitu suka dengannya. Hal-hal jail pun sering Nur dapati. Namun, keadaan itu tak menyurutkan langkahnya untuk menuntut ilmu.
***
Semester genap di kelas X yang hampir usai membuat Nur berpikir keras. Mulai dari nilai akademik, ekstrakurikuler, dan organisasi yang ia ikuti. Kekhawatirannya pun memuncak, karena rasa candu untuk mencontek tidak hilang-hilang dari dalam dirinya. Namun, ia terus berupaya untuk memadamkan rasa itu. Hingga datanglah pekan Ulangan Harian per mata pelajaran. Demi, menghilangkan rasa candu itu, ia beranikan diri untuk tidak mencontek sama sekali selama Ulangan Harian di semua mata pelajaran. Nur tak menduga bahwa disetiap kesulitan yang ia hadapi malah semakin mudah ia selesaikan. Rasa takjubnya sangat tampak ketika dia menyelesaikan Ulangan Harian mata pelajaran PPKN.
"Niat baik, berbuah baik. Kemana saja aku selama ini? Sungguh diri yang buta akan segala nikmat-Nya. Bodohnya aku yang terkuasai oleh nafsu. Waktu yang diberikan Bapak Guru bukanlah cuma-cuma. Belum tentu temanku mendapatkan toleransi waktu. Keterlambatanku ini sangatlah tidak wajar. Materi ini sama persis dengan materi yang kupelajari tadi pagi," Nur berkata-kata dalam batinnya.
Waktunya mengerjakan ujian hanya tersisa 25 menit dari alokasi 60 menit. Ia terlambat karena sholat dhuha dahulu. Jarak kelas ke masjid sekolah pun cukup jauh. Serta, waktunya menuju ke masjid untuk sholat dhuha yang begitu mepet dengan jam masuk pelajaran. Sehingga keterlambatannya pun melebihi setengah jam. Tetapi, Bapak Guru memberikan keringanan kepadanya dan tetap mempersilakan untuk mengerjakan ujian. Walaupun tanpa ada penambahan waktu. Nur tak mengalami kesulitan selama menyelesaikan ujiannya. Ketika waktu berakhir ujian, ia juga sudah selesai. Tentunya tanpa mencontek. Perlahan ia mampu melewati satu per satu ujian tanpa mencontek.
"Sangat beda ternyata. Kelegaan setelah mengerjakan ujian tanpa mencontek menumbuhkan semangat baru. Badan pun terasa ringan. Seolah tidak ada beban yang kusangga. Dulu saja ketika aku mencontek, sangatlah jelas bayang-bayang ketakutan. Rasa cemas yang menyerbu diri," ujar Nur dalam hati setelah merampungkan ujian.
"Nur, yuk ke kantin!" Yuyu mengajaknya, tanpa sadar kalau Pak Guru masih di dalam kelas.
"Yuyu...," jawab Nur pelan dengan mengkedip-kedipkan matanya.
"Kelilipan mata kau?" tanya Yuyu kepada Nur.
Tidak ada jawaban dari Nur melainkan Pak Guru yang langsung memanggil Yuyu atau Wahyu.
"Wahyu!" Bapak Guru menyebut nama Wahyu dengan nada tinggi.
"Siap Pak!" Jawaban dari Wahyu yang cukup membuatnya terkejut.
"Apakah kamu tidak tahu kalau Bapak masih ada di kelas?"
"Ta.. tahu Pak. Maaf kalau Wahyu tidak sopan. Karena perut yang tak bisa dikondisikan," Wahyu menjawab dengan memegang perutnya.
"Tenang Wahyu. Bapak tidak memarahi kamu, saya hanya memanggilmu karena lembar ujianmu belum kamu kumpulkan," tungkas Bapak Guru.
"Hehe.. iya Pak. Saya lupa," sambil senyum-senyum tidak jelas.
"Makanya Yu, sebelum ujian itu kasih makan tuh cacing-cacing di perut," sahut Nur sambil menahan tawa.
"Ya udah dikasih makan, tapi apalah daya nutrisi terpakai buat mikir," Wahyu langsung menjawab dengan sedikit menggerutu tanpa kata yang jelas.
"Iya iya, pergi ke kantin sana duluan. Aku di kelas saja. Lagi, males jalan jauh ke kantin. Kalau boleh aku nitip saja."
"Yah, ditungguin malah nyuruh aku duluan. Nggak mau ah dititipin. Hati-hati kalau nanti di kelas sendiri," jawab Wahyu sambil jalan menuju kantin.
Kalau masalah makanan Wahyu nomor satu. Sebelum Nur menjawab, batang hidungnya sudah lenyap dari pandangannya.
***
Kelas ramai tak karuan. Nur pun terusik dengan keadaan itu. Alhasil dia menuju perpustakaan. Walaupun harus berjalan menuruni tangga dan jaraknya hampir sama jalan ke kantin. Tapi, tak menyurutkan langkahnya untuk mendapati kesunyian. Rak-rak dengan buku lawas adalah tempat mojok favoritnya. Cahaya yang sedikit berpadu pada cerita sejarah yang dibacanya. Sangat mendukung latar peristiwa yang terputar dibenaknya.
"Seni rupa membawaku mengenal sejarah tanpa bosan. Andai saja ada kawan yang memiliki pemahaman sama denganku. Pasti seru jika kita saling bertukar argumen," dalam batinnya Nur berandai-andai.
Setelah bermanja dengan buku-buku sejarah, Nur beranjak ke rak antologi puisi lama. Tokoh-tokoh seperti Isbedy Setiawan ZS, Sutardji Cholzum Bachri, W.S. Rendra, dan lain-lain pun ia temui. Walaupun masih asing dengan nama-nama itu, Nur tak sungkan untuk menyantap ramuan puitik yang penuh kritik. Tak jarang ia pun dimintai tolong Bu Lis dan Pak Geng untuk menjaga perpustakaan. Ya walaupun Nur hanyalah pengunjung yang amatiran. Namun, kesenangannya berkunjung ke perpustakaan berbuah manis. Ia mendapat kesempatan untuk lebih mengenal jauh tentang tokoh esais. Pertemuannya dengan tokoh itu pun tak disengaja. Karena ia tertantang ikut lomba menulis yang pilihannya hanya dua yakni Cerpen dan Esai. Lantas, Nur yang ragu untuk menulis Cerpen pun mencoba memilih Esai. Padahal ia sendiri tidak tahu menahu terkait Esai.
"Esai? Tulisan seperti apa ya ini?" Nur pun terus bertanya-tanya.
Hingga suatu ketika ia di perpustakaan bertemu dengan kata itu. Kata yang tak jauh dari buku-buku antologi puisi. Langsung ia mengambil buku tersebut. Buku tersebut bernama Horison. Dibaca lebih mendalam ternyata buku itu ada dua jilid. Isinya tentu kumpulan esai yang berkualitas. Namun, ia belum tertarik membaca lebih jauh terkait tulisan esai. Nur teringat bahwa di waktu yang dekat juga ada kompetisi bola basket. Kompetisi yang sangat ia nanti-nantikan.
Nur juga sudah lama mempersiapkan mentalnya untuk ikut bertanding dikompetisi bergengsi itu. Postur yang lebih kecil dari kawan-kawan seusianya tidak menggugurkan semangatnya. Ia tetap kukuh untuk berlatih bersama kawan-kawannya. Kesukaannya baik di dunia akademik, olahraga, film, dan organisasi sangat menggebu-gebu di kala itu. Namun, perlahan satu persatu berguguran dan hanya beberapa yang bertahan. Keguguran atau melepas mimpi itu bukan keputusannya namun sebuah kecelakaan. Hingga menimbulkan efek yang cukup luar biasa. Efek negatif maupun positif sangat kentara. Hingga berbagai teguran ia tuai tanpa luput.
"Siap Pak!" Jawaban dari Wahyu yang cukup membuatnya terkejut.
"Apakah kamu tidak tahu kalau Bapak masih ada di kelas?"
"Ta.. tahu Pak. Maaf kalau Wahyu tidak sopan. Karena perut yang tak bisa dikondisikan," Wahyu menjawab dengan memegang perutnya.
"Tenang Wahyu. Bapak tidak memarahi kamu, saya hanya memanggilmu karena lembar ujianmu belum kamu kumpulkan," tungkas Bapak Guru.
"Hehe.. iya Pak. Saya lupa," sambil senyum-senyum tidak jelas.
"Makanya Yu, sebelum ujian itu kasih makan tuh cacing-cacing di perut," sahut Nur sambil menahan tawa.
"Ya udah dikasih makan, tapi apalah daya nutrisi terpakai buat mikir," Wahyu langsung menjawab dengan sedikit menggerutu tanpa kata yang jelas.
"Iya iya, pergi ke kantin sana duluan. Aku di kelas saja. Lagi, males jalan jauh ke kantin. Kalau boleh aku nitip saja."
"Yah, ditungguin malah nyuruh aku duluan. Nggak mau ah dititipin. Hati-hati kalau nanti di kelas sendiri," jawab Wahyu sambil jalan menuju kantin.
Kalau masalah makanan Wahyu nomor satu. Sebelum Nur menjawab, batang hidungnya sudah lenyap dari pandangannya.
***
Kelas ramai tak karuan. Nur pun terusik dengan keadaan itu. Alhasil dia menuju perpustakaan. Walaupun harus berjalan menuruni tangga dan jaraknya hampir sama jalan ke kantin. Tapi, tak menyurutkan langkahnya untuk mendapati kesunyian. Rak-rak dengan buku lawas adalah tempat mojok favoritnya. Cahaya yang sedikit berpadu pada cerita sejarah yang dibacanya. Sangat mendukung latar peristiwa yang terputar dibenaknya.
"Seni rupa membawaku mengenal sejarah tanpa bosan. Andai saja ada kawan yang memiliki pemahaman sama denganku. Pasti seru jika kita saling bertukar argumen," dalam batinnya Nur berandai-andai.
Setelah bermanja dengan buku-buku sejarah, Nur beranjak ke rak antologi puisi lama. Tokoh-tokoh seperti Isbedy Setiawan ZS, Sutardji Cholzum Bachri, W.S. Rendra, dan lain-lain pun ia temui. Walaupun masih asing dengan nama-nama itu, Nur tak sungkan untuk menyantap ramuan puitik yang penuh kritik. Tak jarang ia pun dimintai tolong Bu Lis dan Pak Geng untuk menjaga perpustakaan. Ya walaupun Nur hanyalah pengunjung yang amatiran. Namun, kesenangannya berkunjung ke perpustakaan berbuah manis. Ia mendapat kesempatan untuk lebih mengenal jauh tentang tokoh esais. Pertemuannya dengan tokoh itu pun tak disengaja. Karena ia tertantang ikut lomba menulis yang pilihannya hanya dua yakni Cerpen dan Esai. Lantas, Nur yang ragu untuk menulis Cerpen pun mencoba memilih Esai. Padahal ia sendiri tidak tahu menahu terkait Esai.
"Esai? Tulisan seperti apa ya ini?" Nur pun terus bertanya-tanya.
Hingga suatu ketika ia di perpustakaan bertemu dengan kata itu. Kata yang tak jauh dari buku-buku antologi puisi. Langsung ia mengambil buku tersebut. Buku tersebut bernama Horison. Dibaca lebih mendalam ternyata buku itu ada dua jilid. Isinya tentu kumpulan esai yang berkualitas. Namun, ia belum tertarik membaca lebih jauh terkait tulisan esai. Nur teringat bahwa di waktu yang dekat juga ada kompetisi bola basket. Kompetisi yang sangat ia nanti-nantikan.
Nur juga sudah lama mempersiapkan mentalnya untuk ikut bertanding dikompetisi bergengsi itu. Postur yang lebih kecil dari kawan-kawan seusianya tidak menggugurkan semangatnya. Ia tetap kukuh untuk berlatih bersama kawan-kawannya. Kesukaannya baik di dunia akademik, olahraga, film, dan organisasi sangat menggebu-gebu di kala itu. Namun, perlahan satu persatu berguguran dan hanya beberapa yang bertahan. Keguguran atau melepas mimpi itu bukan keputusannya namun sebuah kecelakaan. Hingga menimbulkan efek yang cukup luar biasa. Efek negatif maupun positif sangat kentara. Hingga berbagai teguran ia tuai tanpa luput.
loading...
Komentar
Posting Komentar